Selasa, 12 Maret 2013

Cerita Sherlock Holmes - Von Bork


Ketika itu pukul sembilan malam, tanggal 2 Agustus—Agustus paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia. Orang mungkin akan langsung berpikir bahwa kutukan Tuhan sedang melanda dunia yang makin rusak ini, karena walaupun suasananya tenang-tenang saja, ketakutan dan ketidakpastian melayang-layang di udara yang panas tak bergerak. Matahari sudah tenggelam sejak tadi, tapi sederet awan jingga bak luka yang menganga masih tergantung rendah di langit sebelah barat di kejauhan. Di atas, bintang-bintang bersinar dengan cerahnya, dan di bawah lampu-lampu kapal terlihat gemerlapan dari pantai. Dua pria penting berkebangsaan Jerman berdiri di samping tembok batu pendek di sebuah jalanan taman. Di belakang mereka berdiri dengan kokoh rumah tembok yang memanjang tapi tak seberapa tinggi. Mereka sedang memandang ke bawah—ke pantai yang luas yang terletak di kaki jurang berkapur tempat Von Bork membangun rumahnya empat tahun yang lalu.

Mereka berdua berdiri berdekatan sambil berbincang-bincang pelan dan penuh rahasia. Dari bawah, kedua api rokok mereka bagaikan sepasang mata musuh yang sedang mengintai di kegelapan.

Von Bork orang yang luar biasa—tak ada tandingannya di antara agen-agen Kaisar Jerman yang terkenal sangat setia. Berkat keahliannya inilah dia dikirim untuk melakukan tugas pengintaian di Inggris—negara sasaran mereka yang paling utama. Sejak dia mengemban tugas itu, keahliannya menjadi semakin terbukti bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Salah satu dari mereka adalah orang yang sekarang menemaninya, Baron Von Herling, sekretaris kedutaan yang memiliki mobil Mercedes Benz berkekuatan 100 tenaga kuda.

"Sejauh yang bisa kumengerti dari rangkaian peristiwanya, kau mungkin akan kembali ke Berlin dalam seminggu ini," kata si sekretaris. "Kalau sudah sampai di sana, sobatku Von Bork, kurasa kau akan terkejut atas sambutan meriah yang akan kauterima. Aku kebetulan tahu bagaimana pendapat pimpinan-pimpinan di pusat atas prestasimu di negeri ini." Baron Von Herling berperawakan besar, gaya bicaranya tak terburu-buru tapi mantap, aset utamanya dalam karier politiknya.

Von Bork tertawa. "Tak terlalu susah mengelabui orang-orang Inggris ini," komentarnya. "Mereka begitu penurut dan lugu."

"Aku tak begitu yakin akan hal itu," kata temannya sambil berpikir. "Mereka punya 'batas-batas' tertentu, dan kita harus tahu hal itu. Penampilan mereka yang tampaknya lugu itulah yang menjadi jerat bagi orang yang tak begitu memahami mereka. Mula-mula kita mendapat kesan mereka betul-betul lunak. Tapi mereka bisa tiba-tiba bersikap sangat keras dan kita sadar telah melampaui 'batas' mereka. Kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima saja kenyataan itu. Mereka, misalnya, memiliki konvensi-konvensi yang harus dipatuhi."

"Maksudmu sopan santun dan semacamnya?" Von Bork mengeluh seperti orang yang telah banyak menanggung penderitaan.

"Maksudku prasangka orang Inggris dalam perwujudannya yang aneh-aneh. Sebagai contoh, aku bisa mengemukakan salah satu kesalahanku yang sangat fatal. Aku berani membicarakan ini karena kau tahu benar tentang pekerjaan dan prestasiku. Dan itu terjadi ketika aku baru tiba di sini untuk pertama kalinya. Aku diundang ke pertemuan akhir pekan di rumah peristirahatan seorang menteri kabinet. Percakapan mereka sangat bebas, tidak hati-hati."

Von Bork mengangguk. "Aku pernah diundang ke pertemuan seperti itu," katanya dengan nada kering.

"Well, aku tentu saja mengirim laporan ke Berlin tentang informasi yang kudapatkan di situ. Ternyata apa yang mereka katakan bukan rahasia. Atasanku langsung mengirim balasan, mengatakan dia sudah tahu tentang semua itu. Akibatnya sangat fatal bagi karierku, dua tahun aku harus menebus kesalahan itu. Ingatlah baik-baik, keramahan tuan rumah kita pada acara-acara seperti itu bukannya tak ada maksudnya. Cara yang kau tempuh memang lebih efektif, pura-pura jadi pencinta olahraga."

"Tidak, tidak, jangan bilang aku berpura-pura. Aku memang gemar berolahraga, aku sangat menikmatinya."

"Itu malah lebih baik lagi. Kau berlomba perahu dengan mereka, berburu, main polo. Kau bahkan mau bertinju dengan petugas-petugas Inggris yang masih ingusan. Apa hasilnya? Kau dianggap tak berbahaya, teman mereka, orang Jerman yang cukup baik, yang suka minum-minum dan berhura-hura. Di rumahku mereka berbicara dengan bebas, mengumbar rahasia, sama sekali tak menyadari tuan rumahnya agen rahasia paling andal di seluruh Eropa. Jenius, sobatku Von Bork—jenius!"

"Pujianmu terlalu berlebihan, Baron, tapi memang kuakui selama empat tahun bertugas di negeri ini, aku bukannya tak menghasilkan apa-apa. Kau belum pernah melihat koleksiku yang tak seberapa besar, kan? Mau mampir untuk melihat sebentar?"

Ruang baca dapat dicapai langsung dari teras Von Bork mendorong pintunya sambil menunjukkan jalan dan menghidupkan lampu. Ditutupnya pintu dan diaturnya gorden berat yang menutupi jendela yang berkisi-kisi. Setelah melakukan semua tindakan pengamanan ini, barulah dia memalingkan wajahnya yang terbakar matahari ke tamunya.

"Beberapa berkas yang tak begitu penting telah dibawa," katanya, "oleh istriku dan rombongannya. Mereka berangkat ke Flushing kemarin. Tentu saja, aku harus minta perlindungan dari kedutaan untuk barang-barang lainnya."

"Namamu tercatat sebagai salah satu orang yang mahapenting. Baik dirimu maupun bagasimu tak akan mengalami kesulitan. Tentu masih ada kemungkinan kita tak perlu meninggalkan negeri ini. Inggris mungkin tak akan membantu Francis. Kami yakin di antara mereka tak ada perjanjian apa-apa."

"Bagaimana dengan Belgia?"

"Inggris juga tak akan membantu Belgia."

Von Bork menggeleng. "Aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Aku tahu betul ada perjanjian di antara mereka. Tak mungkin Inggris melanggar janji"

"Paling tidak itu membuat negeri ini aman selama beberapa waktu."

"Tapi kehormatannya?"

"Tut, sobatku, kita hidup di zaman yang serba praktis. Kehormatan adalah konsep yang sudah kuno. Di samping itu, Inggris memang tidak siap. Bahkan pajak perang khusus bernilai 50 juta— yang mengungkapkan maksud kita dengan begitu jelasnya seakan kita memasang iklan di halaman depan Times—tak membuat orang-orang itu bergeming dari tidurnya yang lelap. Di sana-sini orang bertanya-tanya. Dan tugasku ialah mencari jawabannya. Di sana-sini juga ada gangguan-gangguan. Tugaskulah untuk meredamnya. Tapi aku berani memastikan, sejauh ini, kalau dilihat dari hal-hal yang penting—penyimpanan amunisi, persiapan penyerangan kapal selam, pengaturan pembuatan bom—mereka sama sekali belum siap. Bagaimana Inggris mau ikut perang, kalau kita telah menggelitik mereka melalui perang saudara di Irlandia, kerusuhan di mana-mana, dan masih banyak lagi urusan dalam negeri yang harus diselesaikan?"

"Negara ini harus memikirkan masa depannya juga?"

"Ah, itu soal lain. Aku bisa membayangkan, di masa depan, kita punya rencana khusus bagi Inggris, dan informasi yang kaudapatkan akan sangat berguna bagi kita. Cepat atau lambat Inggris harus terjun juga ke dalam kancah peperangan. Kalau mereka mau, sekarang kita sudah siap. Nanti, lebih baik lagi. Kupikir lebih bijaksana bila mereka berperang bersama negara-negara sekutu daripada sendirian, tapi itu pun terserah mereka. Minggu ini minggu penentuan bagi mereka. Tapi kau tadi menyebut-nyebut tentang berkas-berkasmu." Dia duduk di kursi berlengan, sehingga lampu menyinari botak lebar di kepalanya. Dia mengisap cerutunya dengan asyik.

Ruangan besar berlapis kayu ek dan penuh buku itu dilengkapi dengan gorden di salah satu sudutnya. Ketika gorden itu disingkapkan, tampak lemari besi besar yang terbuat dari kuningan. Von Bork mengambil kunci kecil yang tergantung pada rantai arlojinya lalu membuka lemari besi itu.

"Lihat!" katanya. Dia berdiri dengan bangga sambil melambaikan tangan.

Lampu menerangi lemari besi yang terbuka itu dengan sangat jelas, dan dengan penuh minat sekretaris kedutaan itu menatap ke deretan kotak arsip yang memenuhi lemari besi itu. Matanya menelusuri label-label yang tertera pada tiap kotak. "Ford", "Pertahanan Pantai", "Kapal Terbang", "Irlandia", "Mesir", "Benteng Portsmouth", "Selat Inggris", "Rosyth", dan masih banyak lagi. Tiap kotak penuh dengan berkas-berkas dan perencanaan-perencanaan.

"Hebat sekali!" kata si sekretaris. Dia meletakkan cerutunya, lalu bertepuk tangan.

"Inilah hasil kerjaku selama empat tahun, Baron. Tak bisa dikatakan jelek, untuk pencinta olahraga yang suka minum dan berhura-hura. Tapi yang paling menarik dari seluruh koleksiku adalah apa yang akan segera kudapatkan, dan aku menyediakan tempatnya."

Dia menunjuk sebuah kotak berlabel "Sinyal-sinyal Angkatan Laut".

"Tapi bukankah kau sudah punya dokumen tentang itu?"

"Sudah kadaluwarsa. Departemen Angkatan Laut Inggris sempat diperingatkan tentang bocornya dokumen itu, sehingga semua kodenya lalu diubah. Pukulan berat, Baron—benar-benar kemunduran terburuk yang pernah terjadi sepanjang karierku. Tapi syukurlah, berkat kekuatan cekku dan orang bernama Altamont ini, semuanya akan beres malam ini."

Baron melirik jam tangannya, lalu menggerutu dengan penuh kecewa.

"Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Keadaan di Carlton Terrace sibuk sekali, dan kami semua harus bersiaga di pos masing-masing. Tadinya aku berharap bisa membawa berita tentang langkahmu yang hebat ini. Apakah Altamont tak menyebutkan jam berapa dia akan datang?"

Von Bork menunjukkan sebuah telegram.

    Akan datang malam ini membawa steker kelap-kelip. Altamont.

"Steker kelap-kelip, eh?"

"Dia pura-pura menjadi montir, dan komunikasi kami memakai kode suku cadang mobil. Radiator maksudnya kapal perang, pompa minyak maksudnya kapal patroli, dan lain-lain. Steker kelap-kelip maksudnya sinyal-sinyal Angkatan Laut."

"Dari Portsmouth siang ini," kata si sekretaris sambil mengamati telegram itu. "Omong-omong, imbalan apa yang kauberikan kepadanya?"

"Lima ratus pound untuk tugas khusus seperti ini. Di samping itu dia masih menerima gaji bulanan."

"Bajingan serakah. Mereka—para pengkhianat ini—memang besar jasanya bagi kita, tapi biayanya juga tak kepalang tanggung."

"Untuk Altamont, aku tak keberatan walau harus membayar mahal. Dia pekerja yang hebat. Kalau imbalannya cukup banyak, paling tidak dia pasti akan mengirim barang yang dipesan—begitu dia mengistilahkannya. Lagi pula, dia bukan pengkhianat. Dia keturunan Amerika-Irlandia yang benci sekali pada Inggris."

"Oh, keturunan Amerika-Irlandia?"

"Kalau kau mendengarnya berbicara, kau pasti tak akan meragukannya. Kadang-kadang, aku sendiri tak mengerti maksudnya. Apakah kau benar-benar harus pergi sekarang? Dia mungkin akan tiba tak lama lagi."

"Ya. Maaf, tapi aku sudah terlalu lama di sini. Kami ingin bertemu denganmu besok pagi-pagi, dan kalau berhasil mendapatkan sinyal itu, kau benar-benar akan mengakhiri tugasmu di Inggris dengan suatu prestasi yang luar biasa. Apa ini? Tokay!"

Dia menunjuk sebuah botol berdebu yang belum dibuka, yang terletak di nampan bersama dua gelas tinggi.

"Bagaimana kalau kita minum sebelum kau pergi?"

"Tidak, terima kasih. Sepertinya mau ada perayaan?"

"Altamont punya selera yang hebat dalam hal anggur, dan sangat menyukai Tokay. Dia sangat sensitif dan aku harus sedikit memanjakannya. Aku belajar banyak untuk mengerti dirinya."

Mereka berdua berjalan ke luar. Sopir Baron menghidupkan mesin mobil.

"Itu lampu-lampu Pelabuhan Harwich, bukan?" tanya si sekretaris sambil mengenakan mantelnya. "Tampak tenang dan damai. Dalam minggu ini akan muncul lampu-lampu lain, dan koyaklah ketenangan di pantai Inggris. Langitnya pun tak akan tenang lagi kalau pimpinan angkatan udara kita memenuhi janjinya. Eh, siapa itu?"

Terlihat cahaya yang berasal dari sebuah jendela tepat di belakang mereka. Di balik jendela itu duduk seorang wanita tua berwajah kemerahan, mengenakan topi khas pedesaan. Dia sedang asyik merenda sambil sesekali berhenti untuk membelai kucing hitam besar yang duduk di bangku di sampingnya.

"Itu Martha, satu-satunya pembantuku yang masih tinggal."

Si sekretaris tergelak.

"Dia bisa menggambarkan Inggris Raya," katanya, "begitu asyiknya, dan terkantuk-kantuk. Nah, sampai ketemu lagi, Von Bork!" Sambil melambai dia masuk ke mobilnya, dan sekejap kemudian kedua sinar lampu depan mobilnya yang keemasan menjauh menembus kegelapan malam. Dia duduk bersandar di bantalan kursi limusinnya yang mewah. Pikirannya begitu dipenuhi dengan tragedi yang akan melanda Eropa, sehingga dia nyaris tak memperhatikan ketika mobilnya membelok keluar dari jalan pedesaan itu, dan hampir saja menabrak mobil Ford kecil yang datang dari arah berlawanan.

Dengan perlahan Von Bork berjalan kembali ke ruang bacanya ketika sinar lampu mobil tamunya telah menghilang di kejauhan. Dilihatnya pembantu tuany telah memadamkan lampu dan pergi tidur. Rumah yang serba sepi dan gelap begini merupakan pengalaman baru baginya, karena biasanya tempat itu selalu ramai oleh celoteh dan staf rumah tangganya yang lumayan besar. Tapi dia lega karena mereka semua dalam keadaan aman dan di situ tak ada orang lain—kecuali wanita tukang masak tua yang bersikeras tetap tinggal melayaninya. Ada banyak dokumen yang perlu dimusnahkannya dan dia mulai melakukannya, saat itu juga, sampai wajahnya yang tampan dan selalu waspada memerah akibatnya panasnya api yang membakar kertas-kertas. Dia memasukkan isi lemari besi ke sebuah koper kulit kecil dengan sangat rapi dan sistematis. Namun belum lama dia bekerja, telinganya yang tajam menangkap suara mobil di kejauhan. Dengan segera dia berteriak gembira, menutup kopernya, mengunci lemari besinya, dan bergegas ke luar. Tepat pada waktu itulah dia melihat sebuah mobil kecil berhenti di pintu gerbang rumahnya. Penumpangnya melompat ke luar dan bergegas menghampirinya, sementara sopirnya—pria tua bertubuh agak gemuk dan berjenggot abu-abu—duduk bersandar seakan siap menunggu lama.

"Bagaimana?" tanya Von Bork dengan penasaran sambil berlari mendekati tamunya.

Sebagai jawaban, tamu itu melambaikan sebuah bungkusan kecil terbungkus kertas cokelat ke atas kepalanya.

"Anda bisa menyerahkan imbalannya kepada saya malam ini juga, Mister," teriaknya. "Akhirnya saya berhasil membawa hadiah ini untuk Anda."

"Sinyal-sinyal itu?"

"Seperti yang tertulis di telegram saya. Lengkap dan aktual, sinyal bendera, kode lampu, Marconi— tapi cuma salinannya, bukan aslinya. Terlalu berbahaya kalau harus mendapatkan yang asli. Tapi ini persis aslinya, dan Anda tak perlu ragu." Dia menepuk pundak orang Jerman itu dengan akrab sampai Von Bork mengernyit.

"Silakan masuk," katanya. "Saya sendirian di rumah. Saya tinggal menunggu ini. Tentu saja salinan justru lebih baik daripada aslinya. Kalau mereka tahu dokumen aslinya telah hilang, mereka akan mengubah semua kodenya. Menurut Anda salinan ini cukup aman?"

Pria berdarah campuran Amerika-Irlandia itu telah masuk ke ruang baca dan mengembangkan kedua lengannya pada lengan kursi. Tubuhnya kurus tinggi, usianya enam puluhan, wajahnya kejam, dan jenggotnya tipis seperti kambing sehingga dia benar-benar mirip karikatur Paman Sam. Sebatang rokok yang baru diisap separo bertengger di salah satu sudut bibirnya dan ketika sudah duduk, dia lalu menyalakan korek untuk menyulut rokoknya lagi.

"Siap berangkat?" tanyanya sambil menengok ke sekeliling. "Katakan, Mister," tambahnya ketika matanya menatap lemari besi yang gordennya tersingkap. "Anda tak menyimpan berkas-berkas di lemari besi itu, kan?"

"Memangnya kenapa?"

"Wah, dengan pintu yang gampang dibuka seperti itu! Padahal Anda termasyhur sebagai mata-mata andal. Orang Amerika dengan mudah bisa mencongkelnya dengan pembuka botol. Kalau saja saya tahu surat saya akan disimpan di tempat seperti itu, saya tak akan berani tulis surat kepada Anda."

"Siapa pun yang ingin membuka lemari itu secara paksa akan terbengong-bengong," jawab Von Bork. "Tak ada alat yang mampu membuka kotak baja itu."

"Tapi kuncinya itu?"

"Kuncinya memiliki kombinasi ganda. Anda tahu apa artinya?"

Orang Amerika itu menggeleng.

"Well, Anda perlu kata dan sederet angka sebelum kunci itu bisa dibuka." Dia bangkit dan menunjukkan rangkaian huruf dan angka yang bersinar-sinar di sekeliling lubang kunci. "Yang sebelah luar ini untuk huruf-huruf, sedangkan sebelah dalamnya untuk angka-angka."

"Well, well, bagus sekali."

"Jadi tidak semudah yang Anda kira. Saya menyuruh orang membuat ini empat tahun yang lalu, dan coba pikir kata apa dan angka-angka berapa yang saya pilih untuk membuka lemari besi ini."

"Saya tak mungkin menebaknya."

"Well, saya memilih kata Agustus, sedangkan angka-angkanya adalah 1914—bulan dan tahun yang sedang kita jalan sekarang."

Wajah pria Amerika itu menunjukkan rasa kaget dan kagum.

"Wah, Anda memiliki pandangan ke depan yang luar biasa!"

"Ya, saya telah memperkirakan situasinya sejak empat tahun yang lalu. Besok lemari besi ini tak akan berfungsi lagi dan saya akan berangkat."

"Saya kira Anda harus mengatur agar saya juga bisa berangkat. Saya tak ingin tinggal di negeri ini lebih lama lagi. Paling lambat seminggu lagi Inggris akan terjun ke dalam kancah peperangan, dan saya tak mau terlibat."

"Tapi Anda kan warga negara Amerika?"

"Well, begitu juga Jack James, tapi dia sekarang dipenjara di Portland. Kewarganegaraan saya tak ada pengaruhnya bagi polisi Inggris. 'Yang berlaku di sini hukum dan peraturan Inggris', begitu kata mereka. Omong-omong tentang Jack James, Mister, rasanya Anda kurang serius melindungi informan-informan Anda."

"Apa maksud Anda?" tanya Von Bork dengan tajam.

"Anda kan bos mereka, jadi tanggung jawab Andalah untuk menjaga agar mereka tidak jatuh. Tapi ternyata mereka jatuh, dan kapan Anda pernah mengangkat mereka? James, misalnya..."

"Itu salah James sendiri. Anda sendiri tahu. Dia terlalu ngotot melakukan pekerjaan itu."

"James memang bodoh—itu harus saya akui. Lalu Hollis."

"Orang itu gila."

"Well, akhirnya dia menjadi bingung, tapi itu wajar. Siapa pun bisa jadi gila kalau harus berkecimpung di tengah-tengah seratus orang yang semuanya siap melaporkannya ke polisi. Tapi Steiner..."

Von Bork sangat kaget, dan wajahnya yang merah menjadi agak pucat.

"Kenapa dia?"

"Mereka menangkapnya, cuma begitu. Mereka menggeledah tokonya tadi malam, dia dan berkas-berkasnya kini mendekam di penjara Portsmouth. Anda akan pergi, sementara dia menanggung semua akibatnya, dan masih mujur kalau tak dihukum mati. Itulah sebabnya saya ingin segera meninggalkan negeri ini."

Von Bork berkepribadian kuat dan penuh percaya diri, tapi jelas sekali berita itu telah sangat mengguncangnya.

"Bagaimana mereka bisa menangkap Steiner?" gumamnya. "Ini benar-benar pukulan yang mengejutkan."

"Well, ada pukulan lain yang tak kalah mengejutkannya, karena mereka juga sebetulnya sudah mencium jejak saya."

"Anda tak serius, kan?"

"Saya serius. Induk semang saya di Fratton ditanyai macam-macam, dan ketika saya mendengar tentang hal itu, saya pikir sebaiknya saya secepatnya melarikan diri. Tapi apa yang saya ingin ketahui, Mister, adalah bagaimana polisi-polisi itu bisa tahu. Steiner orang kelima yang tertangkap sejak saya mulai bekerja sama dengan Anda, dan saya tahu siapa yang akan menjadi korban keenam kalau saya tak segera angkat kaki. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini, dan tidakkah Anda malu melihat kaki-tangan Anda tertangkap seperti itu?"

Wajah Von Bork merah padam.

"Berani-beraninya Anda berbicara seperti itu!"

"Kalau saya bukan pemberani, Mister, saya tak akan bekerja sama dengan Anda. Tapi saya ingin mengatakan secara langsung apa yang ada di benak saya. Saya mendengar bahwa bagi Anda— politkus politikus Jerman—tak jadi soal kalau agen Anda tertangkap, asal tugasnya telah dilaksanakan."

Von Bork terlonjak.

"Maksud Anda saya sengaja menyerahkan agen-agen saya sendiri?"

"Saya tak mengatakan demikian, Mister, tapi ada kebocoran dalam jaringan mata-mata Anda dan tugas Andalah untuk mengatasinya. Yang jelas, saya tak ingin mengambil risiko lebih jauh. Saya mau berangkat ke Belanda, dan semakin cepat saya sampai di sana semakin baik bagi saya."

Von Bork telah berhasil mengatasi kemarahannya.

"Sudah lama kita bekerja sama. Tak perlu bertengkar sekarang ketika kita justru sedang merayakan keberhasilan kita," katanya. "Anda telah melakukan pekerjaan yang hebat, juga menanggung risiko yang besar. Saya tak akan melupakan jasa Anda. Segeralah berangkat ke Belanda, lalu dari Rotterdam Anda bisa menuju New York. Hanya jalur itu yang aman selama seminggu mendatang. Saya akan terima buku itu dan membawanya bersama berkas-berkas lain."

Orang Amerika itu tetap saja memegangi bungkusan kecil di tangannya. Dia tak melakukan gerakan apa pun untuk menyerahkannya.

"Bagaimana dengan uangnya?" tanyanya.

"Apanya?"

"Uangnya. imbalannya. Lima ratus pound. Tukang tembaknya bikin masalah, dan saya harus mengeluarkan seratus dolar ekstra. Kalau tidak, saya dan Anda tak dapat apa-apa 'Tak bisa!' katanya, dan dia tak main-main. Tapi akhirnya dia menyerah setelah saya beri tambahan seratus dolar lagi, Jadi saya sudah menghabiskan dua ratus dolar untuk buku ini, dan tak mungkin saya menyerahkan tanpa imbalan."

Von Bork tersenyum pahit. "Anda tampaknya tak terlalu mempercayai saya," katanya. "Anda mau meminta uangnya sebelum buku itu Anda serahkan."

"Yah, Mister, ini kan bisnis."

"Baiklah. Keinginan Anda akan saya turuti." Dia duduk di meja dan menulis cek, tapi tak langsung menyerahkannya kepada rekan bisnisnya. "Oke, karena Anda mensyaratkan demikian, Mr. Altamont," katanya, "saya pun berhak tak mempercayai Anda. Anda mengerti?" tambahnya sambil menoleh ke orang Amerika itu. "Ceknya sudah ada di meja. Saya minta agar diperkenankan memeriksa bungkusan itu sebelum Anda mengambil ceknya."

Orang Amerika itu menyerahkan bungkusan itu tanpa berkata sepatah pun. Von Bork membuka tali pengikat dan dua lapis kertas pembungkusnya. Lalu dia terduduk sambil menatap dengan sangat terkejut buku kecil biru yang ada di depannya. Judul yang tertera dengan huruf-huruf berwarna emas adalah Practical Handbook of Bee Culture. Cuma sesaat mata-mata termasyhur itu sanggup menatap judul aneh yang tak ada hubungannya dengan misi yang diembannya. Selanjutnya, dia sudah dicekik dari belakang oleh sepasang tangan kekar, lalu spons berkloroform ditempelkan pada wajahnya yang berkerut-kerut kesakitan.

"Tambah segelas lagi, Watson!" kata Mr. Sherlock Holmes sambil mengacungkan botol anggur Imperial Tokay.

Sopir yang diam-diam sudah menyelinap ke dalam ruangan dan kini duduk di meja itu mengulurkan gelasnya dengan penuh semangat.

"Anggurnya enak sekali, Holmes."

"Memang luar biasa, Watson. Teman kita yang menggeletak di sofa itu telah menjamin anggur ini didapatnya dari toko anggur Franz Joseph yang eksklusif, yang terletak di Schoenbrunn Palace. Tolong buka jendela itu. Bau kloroform merusak cita rasa anggur ini."

Lemari besi di ruangan itu terbuka, dan Holmes berdiri di depannya sambil mengambil berkas demi berkas. Dengan cepat diamatinya tiap berkas, lalu dikemasnya dengan rapi di koper milik Von Bork. Orang Jerman itu menggeletak di sofa, tertidur pulas, tangan dan kakinya terikat.

"Kita tak perlu buru-buru, Watson. Kita aman di sini. Tolong bunyikan bel. Tak ada orang di sini kecuali si tua Martha, yang telah memainkan perannya dengan sangat mengagumkan. Aku yang menyuruhnya bekerja di sini ketika aku mulai menangani masalah ini. Ah, Martha, kau pasti gembira mendengar semuanya berjalan dengan lancar."

Wanita tua yang ramah itu muncul di pintu. Dia memberi hormat sambil tersenyum ke arah Holmes, tapi begitu menatap tubuh yang tergeletak di sofa, dia tampak agak cemas.

"Tak apa-apa, Martha. Dia tak terluka sama sekali."

"Saya senang mendengarnya, Mr. Holmes, dia majikan yang baik. Dia meminta saya berangkat bersama istrinya ke Jerman kemarin, tapi saya tolak. Kalau saya berangkat, rencana Anda bisa kacau, ya, kan, Sir?"

"Tepat sekali, Martha. Selama Anda ada di sini, saya jadi tenang. Cukup lama kami menunggu sinyal Anda tadi."

"Anda tahu, Sir, sekretaris kedutaan itu."

"Saya tahu. Mobilnya berpapasan dengan mobil kami."

"Saya sudah khawatir jangan-jangan dia tak akan meninggalkan tempat ini. Saya tahu Anda tak dapat beraksi selama dia masih di sini."

"Benar. Well, kami cuma terhambat selama kira-kira setengah jam. Setelah itu kami lihat lampu Anda dimatikan yang artinya semuanya beres. Silakan besok melapor kepada saya di Hotel Claridge, London, Martha."

"Baik, Sir."

"Saya rasa, Anda sudah siap meninggalkan tempat ini?"

"Ya, Sir. Dia mengeposkan tujuh surat hari ini. Saya sudah catat semua alamatnya sebagaimana biasanya."

"Bagus sekali, Martha. Saya akan memeriksa alamat-alamat itu besok. Selamat malam. Berkas-berkas ini," lanjutnya begitu wanita itu menghilang, "tentu saja tak begitu penting, karena informasinya telah dikirimkan ke Pemerintah Jerman beberapa waktu yang lalu. Ini aslinya yang tak bisa dibawa ke luar negeri."

"Kalau begitu berkas-berkas ini tak ada gunanya?"

"Bukan begitu, Watson. Dengan berkas-berkas ini pemerintah kita dapat menyimpulkan, apa-apa saja yang telah mereka ketahui dan apa-apa yang belum mereka dapatkan. Boleh dibilang sebagian besar berkas ini berasal dariku, dan tentu saja isinya tak bisa dipercaya. Biarlah masa-masa akhir hidupku ini menjadi sedikit ramai dengan munculnya kapal perang Jerman yang berlayar sepanjang Selat Solent hanya karena menuruti petunjuk palsu yang sengaja kubuat-buat. Tapi kau sendiri, Watson," dia berhenti sejenak, lalu merangkul sahabatnya, "aku belum sempat memperhatikanmu. Bagaimana rupamu setelah sekian tahun berlalu? Wah, kau masih gagah dan bersemangat!"

"Aku merasa lebih muda dua puluh tahun, Holmes. Tak pernah aku sebahagia ketika aku menerima telegrammu, yang memintaku menemuimu di Pelabuhan Harwich. Kau pun tak banyak berubah, Holmes—kecuali tambahan janggut kambingmu yang jelek sekali itu."

"Inilah pengorbanan yang harus kita lakukan demi negara kita, Watson," kata Holmes sambil mencopot janggutnya. "Besok pagi, semua ini tinggal kenangan. Aku akan potong rambut dan mengakhiri penyamaranku sebagai orang Amerika, dan aku akan muncul di Hotel Claridge sebagai Holmes yang dulu. Maaf, Watson, bahasa Inggrisku rasanya menjadi rusak—bahkan sebelum terlintas padaku untuk menyamar sebagai orang Amerika."

"Tapi bukankah kau sudah pensiun, Holmes? Kudengar kau sekarang hidup seperti pertapa di antara tawon-tawon dan tumpukan bukumu di petemakan kecil di daerah South Downs."

"Benar, Watson. Dan inilah hasilnya—sebuah magnum opus, mahakarya, di usia senjaku!" Dia mengambil buku yang tergeletak di meja dan membacakan judul lengkapnya, Practical Handbook of Bee Culture, with some Observations upon the Segregation of the Queen.

"Aku mengerjakan buku ini sendirian. Dan lihatlah hasil jerih payahku bermalam-malam merenungkan dan berhari-hari mengamati gerombolan binatang kecil itu seperti dulu ketika aku mengamati dunia kriminal London."

"Tapi bagaimana sampai kau kembali terjun ke dunia kriminal ini?"

"Ah, aku sendiri masih sering heran. Menteri Luar Negeri masih bisa kutolak, tapi ketika Perdana Menteri berkenan mengunjungi gubuk reyotku, aku tak dapat mengelak lagi. Terus terang, Watson, pria di sofa ini terlalu lihai untuk bangsa kita. Dia punya kelas tersendiri. Banyak rahasia kita yang bocor dan tak ada yang tahu bagaimana itu bisa terjadi. Agen-agen dicurigai atau bahkan ditangkap, tapi ada bukti-bukti yang mengarah pada suatu kekuatan pusat yang kuat dan penuh rahasia di balik semua ini. Jaringan itu harus dibongkar, aku didesak menyelidikinya. Aku melakukannya selama dua tahun, Watson, dan cukup menegangkan. Kalau kukatakan aku memulai petualanganku dari Chicago, lalu lulus dari perkumpulan rahasia Irlandia di Buffalo, membuat masalah dengan kepolisian di Skibbereen, dan akhirnya mendapat kesempatan menjadi agen rahasia Von Bork, kau pasti menyadari betapa rumitnya masalah yang kutangani. Aku menjadi agen kepercayaannya, tapi aku malah mengobrak-abrik rencananya dan menyebabkan lima agennya yang terbaik masuk penjara. Aku mengamati mereka, Watson, dan aku menangkap mereka begitu saatnya tepat. Well, Sir, saya harap Anda tak apa-apa!"

Kalimat terakhir itu ditujukannya kepada Von Bork, yang setelah megap-megap dan mengejap-ngejap, tergeletak diam sambil mendengarkan kata-kata Holmes. Kini dia meronta-ronta lalu memaki-maki dalam bahasa Jerman, wajahnya merah padam. Holmes melanjutkan memeriksa berkas-berkas dengan cekatan sementara tawanannya terus saja memaki dan mengutuki dirinya.

"Walaupun nadanya tak enak didengar, bahasa Jerman adalah bahasa yang dapat mengungkapkan sesuatu dengan sangat jelas," katanya setelah Von Bork berhenti karena lelah. "Wah! Wah!" tambahnya ketika dia menatap tajam pada ujung sebuah peta sebelum mengembalikannya ke kotaknya. "Ini akan mengakibatkan seorang pengkhianat lain dipenjarakan. Aku tak menyangka si kasir ternyata bajingan tengik, walaupun aku sudah lama mengamatinya. Mister Von Bork, banyak hal yang harus Anda pertanggungjawabkan."

Dengan susah payah tawanan kami berusaha duduk, dan dia menatap orang yang menangkapnya dengan pandangan heran sekaligus benci.

"Aku akan membuat perhitungan denganmu, Altamont," katanya dengan nada mengancam, "walaupun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!"

"Lagu kuno yang indah," kata Holmes. "Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Lagu kesukaan Profesor Moriarty yang malang. Kolonel Sebastian Moran juga pernah mendendangkannya Dan nyatanya aku tetap hidup sampai saat ini dan menjadi peternak tawon di South Downs."

"Terkutuk kau, pengkhianat ganda!" teriak orang Jerman itu sambil menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Pandangannya penuh amarah seolah ingin membunuh musuhnya.

"Tidak, tidak, tak akan seburuk itu," kata Holmes sambil tersenyum. "Sebagaimana Anda dengar tadi, sesungguhnya tak ada orang bernama Mr. Altamont dari Chicago. Saya hanya memanfaatkannya, dan kini dia telah tiada."

"Kalau begitu, siapa kau?"

"Sesungguhnya tak begitu penting mengetahui siapa sebenarnya saya. Tapi karena tampaknya Anda begitu penasaran, Mr. Von Bork, baiklah saya katakan ini bukan pertama kalinya saya berkenalan dengan anggota keluarga Anda. Pada masa yang lalu, saya sudah berkali-kali bertugas di Jerman, dan Anda mungkin pernah mendengar nama saya."

"Langsung saja sebutkan!" kata orang berdarah Prusia itu dengan ketus.

"Sayalah yang memisahkan Irene Adler dari almarhum Raja Bohemia ketika sepupu Anda Hein-rich menjabat sebagai Imperial Envoy. Sayalah yang menyelamatkan Count Von Zu Grafenstein dari ancaman pembunuhan kaum Nihilis Klopman. Dia kakak ibu Anda, kan? Sayalah..."

Von Bork terpana di tempat duduknya.

"Hanya ada satu orang'" teriaknya.

"Tepat," kata Holmes.

Von Bork menggeram dan menjatuhkan dirinya kembali ke sofa. "Padahal sebagian besar informasi itu kudapatkan darimu!" teriaknya. "Apa yang telah kulakukan? Pasti semua itu bohong! Tamatlah riwayatku!"

"Memang informasi-informasi itu kurang dapat diandalkan," kata Holmes. "Harus dicek ulang dan Anda tak punya banyak waktu untuk itu. Laksamana Anda mungkin akan mengatakan bedil-bedil yang baru itu ternyata sedikit lebih besar dari yang diharapkannya, dan kapal-kapal itu mungkin sedikit terlalu cepat jalannya."

Von Bork meringkuk dalam keputusasaan.

"Ada banyak perincian lain yang akan terungkap tak lama lagi. Tapi Anda memiliki satu sifat yang biasanya tak dimiliki orang Jerman, Mr. Von Bork, suka berolahraga, sportif. Jadi Anda pasti tak akan sakit hati pada saya kalau berhasil saya kalahkan. Anda telah memperdaya begitu banyak orang dan kini tiba giliran Anda diperdaya. Bagaimanapun, Anda sudah menjalankan tugas bagi negara Anda dengan sangat baik, dan saya pun telah menjalankan tugas bagi negara saya dengan sangat baik, dan hal itu wajar sekali, bukan? Lagi pula," tambahnya dengan ramah sambil menyentuh pundak orang yang tak berdaya itu, "lebih baik begini daripada dikalahkan musuh yang kurang berkualitas. Berkas-berkas ini sudah siap, Watson, Tolong urus tawanan kita, dan sebaiknya kita segera menuju London."

Ternyata tak mudah menggiring Von Bork, karena dia kuat sekali dan meronta-ronta. Akhirnya, berdua dengan Holmes, masing-masing menarik satu lengannya, barulah mereka bisa menyeretnya dengan susah payah melewati jalanan taman yang beberapa jam sebelum ini dilalui orang Jerman itu dengan sangat gagah dan bangga, ketika menerima ucapan selamat dari si sekretaris kedutaan. Dia berhasil dimasukkan ke mobil kecil itu, masih dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Koper kecilnya yang sangat berharga kami letakkan di sampingnya.

"Buatlah diri Anda senyaman mungkin," kata Holmes, setelah membereskan macam-macam. "Bolehkah saya menyalakan rokok dan menyisipkannya ke bibir Anda?"

Orang Jerman yang sedang marah itu menolak semua kebaikan Holmes.

"Kurasa kau menyadari, Mr. Sherlock Holmes," katanya, "kalau tindakanmu ini didukung Pemerintah Inggris, berarti perang akan meletus."

"Bagaimana dengan pemerintah Anda dan semua tindakan Anda?" kata Holmes sambil mengetuk koper kecil itu.

"Kau bukan petugas hukum. Kau tak punya surat izin menangkapku. Semuanya melanggar hukum dan kurang ajar."

"Memang," kata Holmes.

"Menculik pejabat Jerman."

"Dan mencuri berkas-berkas pribadinya."

"Bagus, kau menyadari posisimu, kau dan temanmu ini. Lihat saja kalau aku nanti berteriak minta tolong ketika kita lewat desa..."

"Sir, jika Anda melakukan tindakan bodoh seperti itu, nasib Anda akan semakin buruk. Orang Inggris itu penyabar, tapi pada saat seperti ini, emosinya gampang terbakar dan jangan coba-coba mengusiknya. Begini, Mr. Von Bork, Anda akan diantarkan ke Scotland Yard secara diam-diam, tanpa memalukan Anda. Dari sana Anda bisa menghubungi teman Anda Baron Von Herling dan menanyakan padanya apakah Anda masih boleh menempati tempat yang sudah disediakannya di kamar utama kedutaan. Sedangkan kau, Watson, setahuku kau masih praktek, ya? Tentunya kau juga ingin kembali ke London melanjutkan pekerjaanmu. Mari kita ke teras dan berbincang-bincang sejenak, karena ini mungkin kesempatan terakhir kita."

Kedua sahabat itu mengobrol dengan asyik selama beberapa menit, mengenang hari-hari yang mereka lalui bersama di masa lalu, sementara tawanan mereka masih terus berusaha membebaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Ketika mereka berjalan ke mobil, Holmes menunjuk ke belakang, ke lautan yang disinari rembulan, dan menggeleng dengan serius.

"Angin timur akan tiba, Watson."

"Kurasa bukan angin timur. Holmes. Semilirnya terasa hangat."

"Sobatku, Watson! Kau masih seperti dulu walaupun zaman sudah berubah. Jelas akan tiba angin timur, angin yang belum pernah melanda Inggris. Angin itu dingin dan menyakitkan, Watson, dan banyak di antara kita yang akan jatuh sebelum dilanda tiupannya. Semoga angin dari Tuhan sendiri membuat negara ini menjadi lebih bersih, lebih baik, dan lebih kuat kalau angin topan itu telah berlalu. Hidupkan mobilnya, Watson, sudah waktu nya kita berangkat. Aku punya cek bernilai lima ratus pound yang akan secepatnya kuuangkan, karena yang mengeluarkan cek ini pasti ingin memblokirnya kalau dia bisa"

Read More

Sherlock Holmes - Surai Singa


AKU sungguh tak menduga bahwa sesudah masa pensiunku, aku masih mendapat kesempatan untuk memecahkan masalah yang muskil dan unik. Waktu itu aku telah meninggalkan keramaian kota London dan tinggal di rumah kecil di daerah Sussex, tempat aku dapat hidup tenang dekat dengan alam, sebagaimana telah lama kudambakan. Hubunganku dengan sahabatku Watson tak seerat dulu, hanya kadang-kadang dia datang menengokku di akhir pekan. Itulah sebabnya peristiwa-peristiwa yang kualami harus kucatat sendiri. Ah! Kalau saja dia ada di sini, pastilah dia dengan mudah menuliskan kisah luar biasa ini. Tapi biarlah, aku akan mencoba menuturkannya sendiri dengan gayaku yang seadanya, semoga kata-kataku yang sederhana bisa menunjukkan betapa susahnya proses yang harus kujalani untuk mengungkapkan misteri Surai Singa.

Vilaku terletak di atas bukit landai dengan pemandangan indah ke arah Selat Inggris. Dari rumahku tampak garis pantai yang terdiri atas jurang kapur semata-mata. Untuk turun dari jurang itu, orang harus melalui jalan sempit berliku-liku yang sangat curam dan licin. Di dasar jurang terdapat dataran kerikil dan batu batuan seluas beratus-ratus meter persegi, bahkan pada saat air laut pasang. Di sana-sini ada lekukan-lekukan dan lubang lubang yang mirip kolam renang bila tergenang air pasang. Pantai yang indah ini panjangnya beberapa kilometer. Di salah satu ujung ada teluk kecil dan desa Fulworth yang memotong garis pantai.

Rumahku sepi. Penghuninya hanya aku, pelayanku, dan para lebah. Tapi setengah mil dari rumahku terletak sekolah pelatihan milik Harold Stackhurst yang terkenal, bernama Gables. Di situ tinggal para pemuda yang sedang menyelesaikan pelatihan sebelum terjun ke masyarakat mencari pekerjaan, bersama staf pengajarnya. Stackhurst sendiri mantan atlet dayung sekaligus ilmuwan yang menguasai macam-macam bidang ilmu pengetahuan. Kami berteman sejak aku pindah ke daerah pantai itu, dan kami menjadi begitu akrab sehingga pada malam hari bisa saling mengunjungi tanpa diundang.

Mendekati akhir Juli 1907, angin ribut bertiup dari arah laut. Air laut terlempar sampai ke dasar jurang dan menyisakan semacam danau di pantai tempat gelombang berbalik arah. Keesokan harinya badai sudah reda dan alam sekeliling kembali tenang dan segar. Hari yang begitu indah sungguh tak cocok dipakai bekerja, maka sebelum makan pagi aku pergi berjalan-jalan. Kutelusuri jalanan curam yang menuju pantai. Ketika aku sedang melangkah, kudengar orang menegurku dari belakang. Ternyata Harold Stackhurst, yang melambaikan tangan dan menyapaku dengan gembira

"Pagi yang indah sekali, Mr. Holmes! Saya sudah menduga Anda pasti keluar rumah."

"Mau berenang, ya?"

"Keahlian lama muncul lagi." Dia tertawa sambil menepuk-nepuk kantong bajunya yang menggembung. "Ya. McPherson sudah berangkat duluan, dan saya mau menemuinya di bawah sana."

Fitzroy McPherson adalah salah seorang guru yang tinggal di Gables, pemuda gagah yang sayangnya menderita gangguan jantung akibat demam rematik. Tapi dia atlet yang cukup tangguh, yang bisa mengikuti hampir semua jenis olahraga asal tidak terlalu berat. Pada musim panas dan musim gugur, dia pergi berenang, dan karena aku pun bisa berenang, kami sering bersama-sama.

Tepat pada waktu itu muncul orang yang disebut-sebut. Mula-mula tampak kepalanya, lalu seluruh tubuhnya yang sempoyongan seperti orang mabuk. Dia mengangkat kedua tangannya, dan sambil berteriak nyaring, dia jatuh tersungkur. Aku dan Stackhurst berlari mendekatinya�sekitar lima puluh meter jaraknya�lalu membalikkan badannya. Dia sedang sekarat. Matanya yang meredup dan pipinya yang pucat pasi menunjukkan hal itu. Dia mengejap sekilas dan membisikkan satu atau dua kata peringatan. Kata-katanya tak jelas dan lirih sekali, tapi telingaku menangkap desahan terakhir yang keluar dari bibirnya, "Lion's Mane�Surai Singa." Apa gerangan itu? Benar-benar di luar konteks dan tak bisa dimengerti, tapi hanya itulah yang bisa kutangkap. Dia berusaha mengangkat badannya, mengayunkan kedua tangannya ke atas, tapi lalu terjatuh ke samping, mati.

Teman seperjalananku terpaku karena kagetnya, namun aku, sebagaimana biasa, langsung mengambil sikap waspada. Dan memang aku perlu bersikap begitu, karena dengan segera jelas bagiku bahwa aku harus menangani kasus yang luar biasa. Pemuda itu mengenakan jaket Burberry, celana panjang, dan sepatu kanvas yang talinya belum diikatkan. Ketika terjatuh, jaket yang hanya tersampir di bahunya lepas, sehingga punggungnya terlihat. Kami menatap dengan terheran-heran, karena punggungnya penuh guratan merah seolah-olah dia telah dipukuli dengan cemeti. Bekas-bekas pukulan itu jelas sekali tampak di sekeliling bahu dan tulang rusuknya. Darah mengucur ke dagunya, sebab dia telah menggigit bibir bawahnya keras-keras untuk menahan sakit. Wajahnya yang kesakitan menunjukkan betapa dahsyatnya penganiayaan yang telah dialaminya.

Aku sedang berlutut dan Stackhurst berdiri di dekat mayat itu ketika sebuah bayangan menutupi kami. Ternyata Ian Murdoch, gum pembimbing matematika di Gables. Lelaki kurus tinggi dan berkuht gelap itu pendiam dan tak suka bergaul. Ia tampaknya hidup di alam khayal, bukan di bumi�sungguh gaya hidup yang tak biasa. Murid-muridnya menganggapnya aneh, namun mereka tak berani mengolok-oloknya karena kadang-kadang kegarangannya timbul. Pada suatu kali, ketika dia diganggu oleh anjing kecil milik McPherson, dia langsung mengangkat anjing itu dan melemparnya ke luar jendela hingga kacanya pecah. Melihat perangainya, Stackhurst sebenarnya berniat memberhentikannya, namun niat itu diurungkannya karena tenaga si guru sangat diperlukan. Begitulah keadaan orang yang kini muncul di samping kami. Ia kelihatannya sangat terguncang oleh apa yang dilihatnya, meski tentunya ia tak punya hubungan dekat dengan korban, mengingat insiden anjing kecil itu.

"Kasihan sekali! Kasihan sekali! Apa yang bisa saya lakukan? Adakah yang bisa saya bantu?"

"Apakah Anda tadi bersamanya? Bisakah Anda menceritakan apa yang telah terjadi?"

"Tidak, tidak, saya bangun agak kesiangan. Saya tidak ada di pantai. Saya baru saja datang dari Gables. Apa yang bisa saya lakukan?"

"Tolong secepatnya pergi ke kantor polisi Fulworth untuk melaporkan kejadian ini."

Tanpa sepatah kata pun dia langsung berangkat, dan aku mempersiapkan diri untuk menangani kasus ini, sementara Stackhurst, yang masih terguncang oleh musibah ini, tetap berdiri dekat mayat. Tugas pertamaku, tentu saja, adalah mencatat siapa saja yang berada di pantai saat itu. Dari jalan yang agak tinggi, aku bisa melayangkan pandangan menyeluruh ke pantai. Pantai itu sepi, hanya ada dua atau tiga sosok tubuh yang terlihat di kejauhan sedang berjalan menuju desa Fulworth. Setelah puas menyelidiki pantai, aku berjalan perlahan-lahan menuruni jalanan tebing. Terlihat bekas lumpur atau tanah halus yang sudah bercampur dengan kapur, dan di sana-sini kulihat jejak kaki yang sama, baik menaiki maupun menuruni jalanan itu. Tak ada orang lain yang telah turun ke pantai melewati jalanan ini pagi tadi. Pada salah satu tempat, aku memperhatikan ada bekas tangan dengan jari-jari mengarah ke atas. Ini berarti McPherson yang malang telah terjatuh ketika dia menaiki jalanan. Kutemukan pula bekas-bekas yang menunjukkan bahwa beberapa kali dia terpaksa merangkak. Tepat di ujung jalan, terdapat genangan air luas yang ditinggalkan oleh gelombang pasang. McPherson sempat membuka pakaiannya di dekat situ, terbukti dari handuk yang tergeletak di batuan. Handuk itu kering dan terlipat rapi, jadi tampaknya dia urung masuk ke air. Ketika aku berkeliling, kudapati jejak sepatu kanvas dan juga jejak kaki telanjangnya di pasir di sela-sela batuan. Hal terakhir ini menunjukkan dia sudah siap mencebur ke laut.

Sekarang aku mulai menyadari misterinya�misteri yang belum pernah kuhadapi sepanjang karier detektifku. Pemuda itu pastilah belum lama berada di pantai, paling lama seperempat jam. Stackhurst menyusulnya dari Gables, jadi hal itu tak perlu diragukan. Dia telah melepas pakaiannya dan siap berenang, seperti ditunjukkan oleh jejak kaki telanjang itu. Namun tiba-tiba dia bergegas berpakaian kembali�pakaian yang dikenakannya masih semrawut, kancingnya belum terpasang semua�dan dia berlari ke atas. Dia tak jadi berenang, atau kalaupun sudah, dia tak sempat mengeringkan badannya. Semua itu disebabkan oleh pukulan yang menimpanya, pukulan yang sangat bengis dan tak manusiawi, sampai dia harus menggigit bibir untuk menahan sakit. Penganiayanya meninggalkannya dalam keadaan sekarat, dan dia lalu merangkak ke atas. Siapa gerangan yang telah melakukan penganiayaan sadis ini? Di bawah jurang memang ada beberapa lekukan dan gua kecil, tapi matahari yang bersinar rendah tepat menerangi tempat-tempat itu, sehingga tak mungkin ada orang yang bersembunyi di situ. Mataku kembali menatap sosok-sosok di kejauhan. Jarak mereka terlalu jauh untuk dihubungkan dengan tindak kriminal ini, dan danau buatan tempat McPherson berniat berenang terbentang memisahkan korban dan mereka, lagi pula ada bukit batu di sebelah sana. Di laut, terlihat dua atau tiga kapal penangkap ikan tak jauh dari pantai. Para nelayan itu bisa kutanyai nanti. Ada beberapa cara untuk memulai penyelidikan, tapi tak satu pun cukup meyakinkan.

Ketika akhirnya aku kembali ke tempat mayat itu tergeletak, kulihat sekelompok kecil orang telah berkerumun di situ. Stackhurst, tentu saja, masih di situ, dan Ian Murdoch baru saja tiba bersama Anderson, polisi setempat. Polisi ini bertubuh gempal, berkumis, dan gerakannya lamban. Pembawaannya khas orang Sussex�dari luar terlihat galak dan pendiam, tapi hatinya baik. Dia mendengarkan semua penuturan kami, mencatatnya, lalu menggamitku ke samping.

"Saya akan senang sekali kalau Anda punya saran, Mr. Holmes. Ini masalah besar untuk saya, dan saya akan mendapat teguran keras dari Lewes kalau saya sampai berbuat salah."

Kusarankan kepadanya untuk menyuruh orang menjemput atasannya dan memanggil dokter. Sambil menunggu kedatangan mereka, kuminta dia menjaga agar jangan sampai ada yang berubah, dan membatasi orang yang mendekat ke tempat kejadian. Aku lalu merogoh saku celana korban. Ada saputangan, pisau besar, dan tempat kartu nama kecil. Dari tempat kartu itu menyembul secarik kertas yang lalu kubuka dan kuserahkan kepada polisi itu. Dalam surat yang tampaknya dikirim oleh seorang wanita itu tertulis demikian:

    Saya pasti akan ke sana.
    Maudie

Sepertinya itu janji pertemuan dengan kekasih, walaupun tak disebutkan kapan dan di mana. Anderson mengembalikan surat itu ke tempatnya semula, lalu dimasukkannya ke saku jaket Burberry milik korban bersama barang-barang lainnya. Karena tak ada yang bisa kulakukan, aku pun pulang untuk makan pagi setelah meminta agar dasar jurang diperiksa dengan saksama.

Beberapa jam kemudian, Stackhurst mampir ke rumahku untuk melaporkan bahwa mayat korban telah diangkat ke Gables, tempat penyidikan akan dilakukan. Dia juga membawa berita yang serius. Seperti sudah kuduga, mereka tak menemukan apa-apa di dasar jurang, tapi dia telah memeriksa kertas-kertas yang ada di meja McPherson. Ternyata ada beberapa surat cinta dari wanita bernama Miss Maud Bellamy yang tinggal di Fulworth. Dengan demikian identitas Maudie telah kami ketahui.

"Polisi mengambil surat-surat itu," jelasnya. "Saya tak bisa membawanya kemari. Tapi jelas telah terjalin kisah cinta yang serius di antara mereka berdua. Hanya terus terang saya tak melihat hubungannya dengan musibah tadi, kecuali kalau wanita itu berjanji untuk menemuinya di situ."

"Kecil kemungkinannya mereka berjanji untuk berkencan di tempat renang yang biasa kalian pakai, kan?" komentarku.

"Kebetulan," katanya, "McPherson tak ditemani para siswa."

"Apakah benar itu kebetulan?"

Kedua alis Stackhurst mengerut, menandakan dia sedang berpikir keras.

"Ian Murdoch yang menyebabkan para siswa tak bisa keluar gedung," katanya. "Murdoch bersikeras membahas soal aljabar sebelum makan pagi. Pemuda yang malang, dia jadi sangat terpukul oleh musibah ini."

"Padahal mereka tak berteman, kan?"

"Mereka memang pernah saling mendiamkan, tapi kira-kira setahun terakhir ini, Murdoch dan McPherson berteman dekat. Memang dia bukan orang yang berpembawaan simpatik."

"Oh, begitu. Rasanya saya ingat cerita Anda tentang pertengkaran di antara mereka sehubungan dengan anjing kecil milik korban yang dilempar ke luar jendela."

"Masalah itu sudah beres."

"Tapi mungkin meninggalkan sedikit perasaan dendam?"

"Tidak, tidak. Saya yakin mereka sungguh-sungguh bersahabat."

"Kalau begitu, kita harus menjajaki kasus ini dari sisi sang wanita. Apakah Anda kenal dia?"

"Semua orang mengenalnya. Dia kembang desa�benar-benar cantik, Mr. Holmes. Di mana pun berada, dia selalu menjadi pusat perhatian. Saya tahu McPherson tertarik kepadanya, tapi saya tak menduga hubungan mereka sedalam itu."

"Tapi, siapakah gadis itu sebenarnya?"

"Dia putri Tom Bellamy, pemilik semua kapal dan kolam renang di Fulworth. Dia dulunya cuma nelayan, tapi sekarang cukup kaya dan terpandang. Dia menjalankan bisnisnya bersama putranya, William."

"Bagaimana kalau kita berjalan kaki ke Fulworth dan menemui mereka?"

"Dengan alasan apa?"

"Oh, alasan mudah dicari. Bagaimanapun juga, tak mungkin korban menganiaya dirinya sendiri, kan? Pasti ada orang yang mencambuknya kalau luka-luka itu memang karena cambuk. Teman-teman korban di sekitar tempat ini tidak banyak. Mari kita jajaki setiap kemungkinan yang ada, maka kita akan menemukan motif pembunuhan, yang akan mengarahkan kita kepada pelakunya."

Perjalanan itu mestinya sangat menyenangkan karena harum bunga sepanjang perjalanan. Sayang pikiran kami sedang dipenuhi oleh tragedi yang terjadi di depan mata kami tadi pagi. Desa Fulworth terletak di lekuk pantai dan berbentuk setengah lingkaran. Di belakang gedung-gedung kuno ada beberapa rumah modern yang dibangun di tanah yang agak tinggi. Stackhurst membawaku ke salah satu rumah modern itu.

"Itulah Haven, rumah keluarga Bellamy. Gedung yang dihiasi menara sudut dan beratap batu. Lumayan, bukan, buat mantan nelayan yang dulunya tak punya apa-apa? Hei! Lihat itu!"

Pintu halaman Haven terbuka dan seseorang melangkah keluar. Sosok tinggi kurus itu tak asing bagi kami! Dialah Ian Murdoch, guru matematika. Kami sengaja mencegatnya di jalan.

"Halo!" sapa Stackhurst. Pria itu mengangguk sambil secara sepintas menatap kami dengan mata hitamnya yang penasaran. Dia baru saja hendak berlalu, ketika sang pemilik sekolah menahannya.

"Apa yang Anda lakukan di sana?" tanyanya.

Wajah Murdoch merah padam. "Di sekolah Anda, Sir, saya memang bawahan Anda. Namun saya tak merasa perlu menjelaskan kepada Anda kegiatan-kegiatan pribadi saya."

Emosi Stackhurst memuncak setelah apa yang dialaminya seharian ini. Dia benar-benar kehilangan kesabaran.

"Dalam keadaan seperti ini, jawaban Anda benar-benar tak sopan, Mr. Murdoch."

"Bukankah pertanyaan Anda juga bisa dianggap begitu?"

"Ini bukan pertama kali saya menghadapi pembangkangan Anda. Saya sudah tak tahan lagi. Silakan bersiap-siap mencari pekerjaan di tempat lain secepatnya."

"Saya memang sudah merencanakan hal itu. Hari ini saya kehilangan satu-satunya orang yang selama ini membuat saya bertahan tinggal di Gables."

Dia langsung melangkah pergi, sementara Stackhurst, dengan pandangan marah, terus menatapnya. "Lihat, betapa menjengkelkan dan tak tahu dirinya dia!" teriaknya.

Satu hal yang mengejutkanku ialah bahwa Mr. Ian Murdoch mau melarikan diri dari tempat ini. Kecurigaan muncul di benakku. Mungkin kunjungan kami ke rumah keluarga Bellamy akan memberikan titik terang pada kasus ini. Stackhurst menenangkan diri, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju rumah keluarga itu.

Mr. Bellamy adalah pria setengah baya dengan janggut merah manyala. Suasana hatinya rupanya sedang kacau, dan wajahnya semerah janggutnya.

"Tidar, Sir, saya tidak ingin mendengarkan detail-detailnya. Putra saya," katanya sambil menunjuk pemuda tinggi besar berwajah murung yang berdiri di ujung ruang tamu, "sependapat dengan saya bahwa niat McPherson terhadap Maud sangat tidak terpuji. Ya, Sir, kata 'pemikahan' tak pernah disebut-sebut, padahal mereka sudah bersurat-suratan dan sering bertemu. Maud sudah tak punya ibu, jadi kami berdualah yang mengawasinya. Kami tetap berpendapat..."

Kata-katanya tak terselesaikan karena gadis itu masuk ke ruangan. Tak ada orang di dunia yang takkan terpana oleh penampilannya. Siapa yang mengira di desa terpencil ini tumbuh bunga yang demikian cantik? Aku tak pernah tertarik pada wanita, karena hatiku terlalu dikuasai oleh otakku, tapi kali ini aku benar-benar terpana menatap wajahnya yang sempurna dan segar�khas gadis desa�serta kulitnya yang halus. Pantaslah, semua pemuda yang sempat bertemu dengannya jatuh hati. Gadis itu berdiri di hadapan Harold Stackhurst dengan mata terbelalak dan tegang.

"Saya sudah tahu Fitzroy tewas," katanya. "Jangan takut untuk menjelaskan detailnya."

"Rekan Anda yang satunya tadi datang kemari untuk mengabarkan hal itu," jelas ayah si gadis.

"Tak ada alasan untuk melibatkan adik saya dalam urusan ini," dengus pemuda Bellamy.

Si gadis menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tajam dan galak. "Ini urusanku, William. Biar aku menanganinya dengan caraku sendiri. Jelas dia telah dibunuh. Sedikitnya aku harus membantu polisi untuk melacak pelakunya."

Gadis itu mendengarkan penjelasan singkat temanku dengan tenang dan penuh perhatian. Di samping cantik, ia ternyata memiliki pribadi yang mantap. Maud Bellamy akan senantiasa kukenang sebagai wanita yang sempurna dan hebat. Tampaknya ia sudah mengenali diriku, karena ketika penjelasan temanku berakhir, ia lalu menoleh ke arahku.

"Tegakkan keadilan, Mr. Holmes. Saya mendukung dan bersedia membantu, siapa pun pelaku-pelaku kejahatan itu." Aku sempat menangkap tatapan matanya yang penuh kebencian ke arah ayah dan kakaknya.

"Terima kasih," kataku. "Saya menghargai naluri wanita dalam kasus-kasus seperti ini. Anda tadi mengatakan 'pelaku-pelaku'. Apakah menurut Anda pelakunya lebih dari satu orang?"

"Saya kenal baik Mr. McPherson. Dia pemberani dan perkasa. Kalau pelakunya hanya seorang, tak mungkin dia sampai babak belur."

"Boleh saya bicara dengan Anda sendirian?"

"Kuperingatkan, Maud, jangan ikut campur dalam kasus ini!" teriak ayahnya.

Ia menatapku dengan tak berdaya. "Apa yang bisa saya lakukan?"

"Semua orang akan tahu kejadian yang sebenarnya tak lama lagi, jadi tak ada salahnya kalau saya membicarakannya di sini," kataku. "Saya lebih suka berbicara secara pribadi, tapi kalau ayah Anda tak mengizinkan, biarlah dia ikut mendengar apa yang hendak saya katakan."

Aku lalu mengungkapkan tentang surat yang ditemukan di saku celana korban. "Surat itu pasti akan ditanyakan dalam pemeriksaan. Bisakah Anda menjelaskannya?"

"Tak ada yang perlu saya sembunyikan lagi," jawab gadis itu. "Kami sudah bertunangan dan merencanakan untuk menikah, tapi kami sengaja merahasiakannya karena paman Fitzroy, yang sudah sangat tua dan tak lama lagi akan meninggal dunia, mungkin akan membatalkan hak waris Fitzroy kalau dia menikah tanpa restunya. Hanya inilah alasannya."

"Kenapa kau tak menceritakannya kepada kami?" dengus Mr. Bellamy.

"Sebenarnya saya mau, Ayah, seandainya saja Ayah sedikit bersimpati."

"Aku tak setuju anakku berhubungan dengan pria yang tak sederajat dengannya."

"Ayah terlalu berprasangka terhadapnya. Itulah sebabnya kami tak berani berterus terang. Sedangkan janji pertemuan itu," ia merogoh saku dan mengeluarkan sehelai kertas lecek, "adalah balasan saya atas suratnya."

Bunyi surat im demikian:

    Sayang,
    Tempat biasa di pantai, hari Selasa setelah matahari terbenam, Hanya saat itu aku bisa keluar.
    F.M.

"Hari ini Selasa, dan saya sebenarnya hendak menemuinya nanti malam."

Aku membalik surat itu. "Surat ini tak diposkan. Bagaimana surat ini sampai kepada Anda?"

"Sebaiknya saya tak menjawab pertanyaan itu. Tak ada hubungannya dengan kasus yang sedang Anda tangani, kan? Tapi saya akan menjawab semua pertanyaan Anda yang lain."

Gadis itu menepati kata-katanya, namun tak ada hal berarti yang kami temukan dalam wawancara itu. Menurutnya, tunangannya tak punya musuh, tapi dia mengakui ada beberapa pemuda lain yang tertarik kepadanya.

"Bolehkah saya bertanya, apakah Mr. Ian Murdoch salah satunya?"

Wajah gadis itu memerah dan ia tampaknya kebingungan.

"Dulu saya kira begitu. Tapi semuanya berubah ketika dia menyadari Fitzroy dan saya sudah serius."

Bayangan sosok Murdoch yang aneh kembali melintas di benakku. Aku harus menyelidiki data dirinya. Aku juga harus menggeledah kamarnya. Stackhurst bersedia membantuku karena ia menaruh kecurigaan yang sama. Kami meninggalkan Haven, dengan harapan telah ada setitik terang bagi misteri yang rumit ini.

Seminggu berlalu. Pemeriksaan polisi tak menghasilkan apa-apa, dan pemeriksaan selanjutnya ditunda sampai ada bukti lain. Stackhurst diam-diam telah mencari informasi tentang Murdoch, dan kamarnya pun sudah digeledah, tapi hasilnya nihil. Aku sendiri telah menjelajahi daerah sekitar tempat kejadian sekali lagi, baik secara langsung maupun dalam pikiran, namun aku tak mendapatkan kemajuan. Sepanjang sejarah karierku, baru kali ini aku menemui jalan buntu. Bahkan mereka-reka solusinya pun aku tak mampu. Lalu musibah terjadi lagi, kali ini menimpa anjing korban.

Pelayan tuakulah yang lebih dulu mendengar berita itu, ketika berbincang-bincang dengan rekan-rekan pelayan desa lainnya.

"Ada berita menyedihkan, Sir, tentang anjing McPherson," katanya pada suatu malam.

Aku biasanya tak suka mendengarkan ocehannya, tapi kali ini kata-katanya menarik perhatianku.

"Kenapa anjing McPherson?"

"Mati, Sir. Mati karena sedih ditinggal tuannya."

"Siapa yang mengatakannya padamu?"

"Lho, Sir, semua orang membicarakannya. Anjing itu jadi sengsara dan tak mau makan selama seminggu. Lalu hari ini dua pemuda dari Gables menemukan bangkainya�di pantai, di bawah sana, Sir, persis di situ, di tempat tuannya menemui ajalnya."

"Persis di situ." Kata-kata itu mengganggu pikiranku. Secercah cahaya yang mengisyaratkan bahwa hal itu sangat penting muncul di benakku. Bahwa anjing itu akhirnya mati, itu biasa�begitulah kesetiaan seekor anjing. Tapi "persis di situ"! Mengapa pantai yang sepi itu begitu fatalnya bagi si anjing? Apakah mungkin anjingnya juga menjadi korban pembalasan dendam seseorang? Mungkinkah...? Ya, isyarat itu kecil saja, tapi ide besar mulai menggelembung di benakku. Beberapa menit kemudian, aku sudah dalam perjalanan menuju Gables, dan menemui Stackhurst yang berada di ruang baca. Atas permintaanku dia memanggil Sudbury dan Blount, kedua siswa yang telah menemukan anjing itu.

"Ya, anjing itu tergeletak di tepi kolam renang," kata salah satu dari mereka. "Dia pastilah mengikuti jejak almarhum tuannya."

Aku melihat binatang kecil yang setia itu, anjing terier Airedale, tergeletak di keset. Tubuhnya kaku, matanya melotot, dan perutnya mengerut. Semua menunjukkan penderitaan luar biasa.

Dari Gables, aku berjalan menuju "kolam renang" yang dibentuk oleh gelombang pasang. Matahari telah tenggelam dan bayangan jurang menutupi air laut, yang memancarkan cahaya suram bagaikan lembaran timah. Tempat itu sepi dan tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali dua ekor burung laut yang sedang berputar-putar dan berteriak-teriak tak jauh dari kepalaku. Dalam keremangan cahaya senja, aku berhasil melihat bekas tempat anjing itu menemui ajalnya di pasir dekat batu tempat handuk tuannya ditaruh. Aku berdiri termangu-mangu selama beberapa saat sementara sekitarku menjadi semakin gelap. Benakku dipenuhi macam-macam pikiran. Anda mungkin pernah mengalami "mimpi buruk" sepertiku, saat Anda merasa hal penting yang sedang Anda cari-cari sebenarnya ada di suatu tempat di otak Anda, namun Anda belum berhasil menjangkaunya. Akhirnya, aku membalikkan badan dan berjalan pulang dengan gontai.

Ketika aku sampai di bagian atas jalanan itu, sesuatu melintas di benakku. Tiba-tiba saja, apa yang sedang kucari-cari itu tertangkap. Watson pasti pernah menceritakan, bahwa gudang pengetahuanku sangat luas tapi serba serabutan. Otakku seperti ruangan yang penuh dengan kotak-kotak kardus berisi segala macam barang rongsokan... begitu banyaknya, sampai aku sendiri tak tahu apa saja isinya. Sekarang telah kutemukan sesuatu yang erat kaitannya dengan kasus ini. Memang masih samar-samar, tapi paling tidak aku tahu bagaimana aku bisa membuatnya menjadi jelas. Begitu mengerikan, luar biasa, tapi cukup masuk akal. Aku harus mengujinya secara tuntas.

Ada loteng kecil di rumahku yang penuh berisi buku. Ke tempat inilah aku menghambur dan mengobrak-abrik buku-buku di situ selama satu jam. Akhirnya, kudapatkan buku bersampul cokelat keperakan. Dengan penuh penasaran aku membuka bagian halaman yang sekilas masih kuingat. Ya, memang upaya yang melelahkan dengan kemungkinan yang sangat kecil, tapi toh aku merasa tak tenang sebelum meyakinkan apakah kemungkinan itu benar. Aku pergi tidur larut malam, tak sabar menunggu datangnya esok hari menuntaskan penyelidikanku.

Tapi, keesokan harinya niatku tertunda karena ada gangguan. Aku baru saja hendak berangkat ke pantai, setelah meneguk teh hangat, ketika aku kedatangan tamu�Inspektur Bardie dari Kepolisian Sussex. Lelaki berwajah serius itu menatapku dengan sangat gelisah.

"Saya tahu pengalaman Anda yang luar biasa, Sir," katanya. "Kunjungan saya ini bukan kunjungan resmi, dan tak perlu dibesar besarkan, tapi terus terang saya bingung menghadapi kasus McPherson ini. Pertanyaannya ialah, apakah saya harus menangkapnya atau tidak?"

"Maksud Anda, Mr. Ian Murdoch?"

"Ya, Sir. Kalau dipikir-pikir, jelas tak ada orang lain. Itulah keuntungan tinggal di daerah yang sepi. Kami hanya harus melakukan penyelidikan yang sangat terbatas. Kalau bukan dia, siapa lagi?"

"Bukti apa yang Anda peroleh tentang dia?"

Sama seperti aku, ternyata dugaannya didasarkan pada faktor-faktor berikut ini: perangai Murdoch, sikapnya yang sangat tertutup, dan emosinya yang meledak-ledak ketika melempar anjing ke luar jendela. Juga kenyataan bahwa dia pernah bertengkar dengan McPherson, dan dugaan bahwa dia mungkin cemburu karena hubungan korban dengan Miss Bellamy. Dia menyebutkan semua faktor yang telah kuketahui, tak ada satu pun yang baru, kecuali tambahan bahwa Murdoch sedang bersiap siap meninggalkan Gables.

"Bagaimana posisi saya kalau membiarkan dia pergi padahal ada bukti yang memberatkannya?" keluh Inspektur bimbang.

"Pertimbangkanlah," kataku, "semua kelemahan yang ada. Pada pagi hari ketika peristiwa itu terjadi, dia punya alibi yang kuat. Dia bersama siswa-siswa sampai saat terakhir, dan beberapa menit setelah kami bertemu McPherson, dia mendatangi saya dari arah belakang. Lagi pula tak mungkin dia menganiaya korban yang kuat itu seorang diri. Dan akhirnya, bagaimana tentang alat yang dipakai untuk melakukan penganiayaan itu?"

"Apa lagi kalau bukan sejenis cambuk?"

"Apakah Anda memperhatikan bekas cambukannya?"tanyaku.

"Sudah. Dokter juga sudah melihatnya."

"Tapi saya mengamatinya dengan memakai kaca pembesar. Goresan-goresannya sangat aneh."

"Aneh bagaimana, Mr. Holmes?"

Aku melangkah ke lemari dan mengambil foto yang sudah dibesarkan. "Beginilah cara saya menangani kasus-kasus seperti ini," jelasku.

"Anda benar-benar bertindak dengan saksama, Mr. Holmes."

"Saya jadi begini karena pengalaman. Nah, mari kita perhatikan goresan di sepanjang bahu kanan. Tak Anda lihat keanehannya?"

"Apa, ya?"

"Dalamnya berbeda-beda. Ada darah yang mengental di sini, di sana, juga di bawah sini. Apa artinya?"

"Entahlah. Memangnya Anda tahu?"

"Saya mungkin tahu, mungkin juga tidak. Saya akan bisa mengatakannya lebih jauh tak lama lagi. Kalau kita bisa memastikan alatnya, pelakunya pun akan kita temukan."

"Ide saya mungkin tak masuk akal," kata sang polisi, "tapi seandainya cambuk yang menghantam punggungnya berupa kabel panas, goresan-goresan yang lebih dalam ini akan menjadi tempat pertemuan beberapa cambukan."

"Perbandingan yang cerdik. Atau bisa juga cambuk bercabang sembilan?"

"Astaga, Mr. Holmes, saya rasa Anda telah menemukannya!"

"Tunggu dulu, Mr. Bardie, bisa jadi penyebabnya malah sesuatu yang sangat berbeda. Pokoknya, Anda belum punya cukup bukti untuk melakukan penangkapan. Dan harus kita pertimbangkan juga kata-kata terakhir korban... 'Lion's Mane'."

"Mungkin yang dimaksud adalah Ian..."

"Saya sempat berpikir begitu, tapi kata selanjutnya sama sekali tidak mirip Murdoch. Saya yakin ucapannya adalah 'Lion's Mane'."

"Anda tak punya alternatif lain, Mr. Holmes?"

"Mungkin punya, tapi saya tak mau membicarakannya sampai mendapat kepastian."

"Kapan?"

"Dalam satu jam�mungkin kurang dari itu."

Inspektur menggosok-gosok dagunya dan menatapku dengan ragu-ragu.

"Sayang saya tak bisa melihat apa yang ada di benak Anda, Mr. Holmes. Apakah Anda mencurigai kapal-kapal penangkap ikan itu?"

"Tidak, tidak. Mereka jauh sekali dari tempat kejadian."

"Kalau begitu, apakah Bellamy dan putranya yang tinggi besar itu? Mereka tak begitu menyukai Mr. McPherson. Mungkinkah mereka yang telah menganiayanya?"

"Tidak, tidak, Anda takkan bisa memancing saya sampai saya siap mengatakannya," kataku tersenyum. "Sekarang, Inspektur, kita masing-masing punya pekerjaan. Mungkin, jika Anda mau menemui saya nanti siang..."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, muncul gangguan lain.

Pintu depan rumahku terbuka, lalu terdengar langkah-langkah kaki di gang, dan Ian Murdoch berjalan sempoyongan memasuki ruangan. Wajahnya pucat pasi, rambutnya awut-awutan, dan pakaiannya semrawut. Ia mencengkeram perabotan untuk menopang dirinya. "Brendi! Brendi!" serunya, lalu terjatuh ke sofa.

Ia tak datang sendirian. Di belakangnya muncul Stackhurst yang berlari kencang. Penampilannyapun awut-awutan dan ia tak memakai topi.

"Ya, ya, brendi!" teriaknya. "Pemuda itu sedang sekarat. Nyaris saya tak mampu membawanya kemari. Dia pingsan dua kali dalam perjalanan."

Setelah menenggak setengah gelas brendi, terjadilah perubahan yang mencengangkan. Ia berusaha bangun lalu membuka bajunya. "Demi Tuhan, beri minyak, opium, morfin!" teriaknya. "Apa saja untuk mengurangi rasa sakit yang luar biasa ini!"

Aku dan Inspektur berteriak ketika melihat apa yang ditunjukkannya. Di bahunya terdapat goresan menyilang, dengan pola yang sama dengan goresan di bahu almarhum Fitzroy McPherson.

Jelas sekali betapa kesakitannya dia, dan rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuh. Tarikan napasnya sesekali berhenti, wajahnya menghitam, dan tak henti-hentinya mengaduh sambil mendekap jantung, sementara keringat mengucur deras dari alisnya. Ia benar-benar sekarat. Kami terus-menerus menuangkan brendi ke mulutnya. Setiap kali habis meneguk brendi, ia tersadar. Tempelan-tempelan kain yang sudah dibasahi minyak sayur di sekujur tubuhnya tampaknya mengurangi rasa sakit pada luka-lukanya yang aneh. Akhirnya kepalanya terjatuh ke bantalan kursi. Wajarlah jika kekuatannya habis karena kelelahan. Ia setengah tidur, setengah pingsan, tapi paling tidak sakitnya sudah mereda.

Jelas tak mungkin menanyai dia, tapi begitu keadaannya sudah tak kritis lagi, Stackhurst menoleh ke arahku.

"Ya Tuhan!" teriaknya. "Kenapa dia, Holmes? Kenapa dia?"

"Di mana Anda temukan dia?"

"Di bawah sana, di pantai. Persis di tempat McPherson menemui ajalnya. Kalau saja jantungnya lemah seperti McPherson, dia takkan berada di sini sekarang. Beberapa kali saya sangka dia sudah mati dalam perjalanan tadi. Gables terlalu jauh, jadi saya bawa dia ke sini."

"Apakah Anda melihatnya ketika berada di pantai?"

"Saya sedang berjalan di atas tebing ketika saya mendengarnya berteriak. Dia berada ditepi kolam renang, berguling-guling seperti orang mabuk. Saya lari turun, memakaikan pakaiannya, dan membawanya naik. Demi Tuhan, Holmes, kerahkan segenap kemampuan Anda untuk mengusir kutuk yang mengerikan ini dari tempat ini, karena hidup kami benar-benar terancam. Tak bisakah Anda, dengan reputasi yang sudah dikenal di seluruh dunia, melakukan sesuatu bagi kami?"
£££££££££££££££
"Saya rasa bisa, Stackhurst. Ayo ikut saya! Dan Anda juga, Inspektur, mari! Akan kita lihat apakah kita mampu menangkap pembunuh ini."

Kami meninggalkan pemuda yang pingsan itu dalam pengawasan pelayanku. Bertiga kami menuju kolam renang maut di pantai. Pada sebuah batu teronggok handuk dan pakaian milik guru matematika itu. Perlahan-lahan aku mengelilingi kolam, diikuti kedua rekanku. Air kolam itu tak begitu dalam, tapi tepat di bawah tebing, tanahnya turun kira-kira satu setengah meter. Ke sinilah biasanya orang berenang karena airnya sebening kristal. Sederet batuan menjorok di atasnya dan aku menapak ke situ, sambil mengintip ke dasar air. Ketika aku tiba di bagian kolam yang paling dalam dan paling tenang, mataku menangkap apa yang sedang kucari-cari. Aku berteriak penuh kemenangan.

"Cyanea!" teriakku. "Cyanea! Lihat si Surai Singa!" Makhluk aneh yang kutunjuk memang mirip surai singa. Dia teronggok di karang dalam air yang dalamnya sekitar semeter. Makhluk berambut itu bergerak-gerak, melambai-lambai, bergetar-getar�warna rambutnya kuning dengan sapuan keperakan di beberapa bagian. Makhluk itu berdenyut perlahan-lahan.

"Sudah cukup banyak dia menelan korban. Tamatlah riwayatmu!" teriakku. "Tolong, Stackhurst! Mari kita akhiri hidup pembunuh ini."

Ada batu besar tepat di atas kami, dan kami mendorongnya ke kolam. Ketika air kolam berhenti beriak, kami melihat batu itu telah mendarat di dasar kolam. Tampak selaput kuning yang menggelepar, menunjukkan bahwa buruan kami tertimpa batu itu. Buih berupa minyak pekat mengalir dari bawah batu sehingga mengotori air di sekitarnya, dan terus naik ke permukaan.

"Astaga, sungguh tak saya sangka!" seru Inspektur. "Apa itu, Mr. Holmes? Saya dilahirkan dan dibesarkan di sini, tapi belum pernah saya melihat makhluk seperti itu. Asalnya pasti bukan dari Sussex."

"Ya, syukurlah," komentarku. "Saya kira dia terbawa badai barat daya. Mari kita kembali ke rumah saya, dan Anda akan mendengarkan sendiri pengalaman si korban."

Ketika kami sampai di kamar bacaku, ternyata Murdoch sudah bisa duduk. Pikirannya masih kacau, dan sesekali tubuhnya terguncang oleh serangan rasa sakit. Dengan terpatah-patah ia mengisahkan bahwa sebenarnya ia tak tahu apa yang telah terjadi padanya, kecuali rasa sakit luar biasa yang tiba-tiba menjalari sekujur tubuhnya, sehingga dengan seluruh sisa kekuatannya ia berupaya mencapai tepi kolam.

"Buku inilah yang mula-mula menyulutkan titik terang pada kasus ini," kataku sambil menunjukkannya. "Kalau bukan karena informasi dari sini, kemungkinan kasus ini takkan terselesaikan. Judulnya Out of Doors, karangan peneliti ternama, J.G. Wood. Wood sendiri hampir menemui ajalnya ketika bertemu dengan makhluk mengerikan itu. Itulah sebabnya dia menuliskan tentang hal itu dengan sangat lengkap. Cyanea capillata adalah nama lengkap makhluk yang sangat berbahaya bagi manusia itu karena gigitannya lebih parah dari gigitan ular kobra. Mari saya bacakan beberapa bagian:

    Jika perenang melihat selaput berserabut berwarna cokelat kekuning-kuningan yang bertebaran bagaikan surai singa dan kertas perak, dia harus waspada, karena berhadapan dengan makhluk penyengat yang sangat menakutkan, Cyanea capillata.

"Ciri-cirinya persis dengan makhluk yang kita temukan, bukan?

"Wood lebih lanjut mengisahkan pengalamannya sendiri ketika bertemu makhluk itu, ketika dia sedang berenang di pantai di daerah Kent. Ternyata makhluk itu memancarkan pijaran sinar yang jangkauannya mencapai lima belas meter. Dan siapa pun yang berada di dalam pijaran sinar itu menghadapi bahaya kematian. Bahkan dari jarak yang cukup jauh, efeknya terhadap Wood nyaris fatal.

    Serabut-serabutnya yang begitu banyak mengakibatkan goresan-goresan ungu di kulit yang kalau diamati dengan teliti ternyata merupakan titik-titik kecil atau pustula�setiap titik bagaikan jarum panas yang menusuk kulit menuju saraf.

"Rasa sakit di tempat goresan, menurut penjelasannya, justru tak begitu menyiksa.

    Rasa nyeri yang luar biasa menimpa bagian dada, menyebabkan saya terjatuh seolah-olah terkena tembakan peluru. Denyut nadi akan berhenti, lalu jantung akan berdetak keras selama enam atau tujuh kali, sepertinya sedang memaksa diri untuk keluar.

"Wood hampir terbunuh padahal dia bertemu dengan makhluk itu di lautan luas yang bergelora dan bukannya di kolam kecil yang airnya tenang. Dia mengatakan setelah itu dia tak percaya pada apa yang dilihatnya di kaca�wajahnya menjadi begitu pucat dan berkerut-kerut mengerikan. Dia lalu meneguk brendi, sebotol penuh, dan itulah tampaknya yang menyelamatkan nyawanya. Ini bukunya, Inspektur, silakan dibaca, maka Anda tak akan ragu lagi bahwa apa yang dijelaskan di buku itu persis sama dengan tragedi yang menimpa McPherson."

"Dan kemudian menimpa saya," komentar Ian Murdoch sambil tersenyum hambar. "Saya tak menyalahkan Anda, Inspektur, juga Anda, Mr. Holmes, karena kecurigaan Anda berdua terhadap saya sangat masuk akal. Rupanya saya baru berhasil membersihkan diri setelah mengalami penderitaan yang sama seperti teman saya."

"Tidak, Mr. Murdoch. Saya sebenarnya sudah menduga penyebab tragedi itu, dan kalau saja tadi pagi saya keluar rumah seperti yang saya rencanakan semula, Anda pasti takkan mengalami musibah ini."

"Tapi bagaimana Anda tahu, Mr. Holmes?"

"Saya suka sekali membaca buku dan biasanya tak melupakan detail-detail yang saya baca. Kata-kata 'Surai Singa' mengganggu pikiran saya. Saya tahu saya pernah melihatnya, tapi entah di mana. Anda lihat sendiri bagaimana istilah itu sangat cocok dengan wujud makhluk itu. Saya yakin makhluk itu sedang mengambang di kolam ketika McPherson melihatnya, dan istilah itulah yang langsung diteriakkannya sebagai peringatan bagi kami sebelum dia akhirnya menemui ajalnya."

"Kalau begitu, paling tidak saya sudah tak menjadi tersangka lagi, ya?" kata Murdoch sambil dengan perlahan mencoba berdiri. "Ada beberapa penjelasan yang ingin saya berikan sehubungan dengan penyelidikan-penyelidikan yang Anda lakukan. Memang benar saya mencintai gadis itu, tapi sejak dia memilih teman saya McPherson, yang saya inginkan adalah kebahagiaannya semata. Saya rela mengundurkan diri, bahkan menjadi perantara mereka. Saya sering mengantarkan surat mereka. Karena saya orang kepercayaan mereka dan saya tetap mengasihi gadis itu, saya langsung memberitahunya tentang kematian teman saya. Saya tidak ingin dia mendengar berita itu dari orang lain yang mungkin akan sangat mengejutkan dan mengguncangkan dirinya. Dia tak mau berterus terang tentang hubungan kami kepada Anda, Sir, karena Anda mungkin akan menaruh curiga dan saya jadi terpojok. Tapi bila Anda mengizinkan, sekarang saya mau kembali ke Gables. Saya benar-benar membutuhkan istirahat."

Stackhurst mengulurkan tangannya. "Selama seminggu ini emosi kita benar-benar terganggu," katanya. "Maafkan apa yang telah terjadi, Murdoch. Semoga di waktu-waktu mendatang, kita bisa lebih saling mengerti." Mereka berjalan pulang sambil bergandengan tangan seperti dua sahabat karib. Inspektur masih tinggal. Dia terpaku sambil menatapku.

"Well, Anda berhasil!" teriaknya akhirnya. "Saya sudah banyak membaca tentang Anda, tapi saya tak pernah mempercayainya. Anda hebat!"

Aku terpaksa menggeleng. Kalau pujian itu kuterima, berarti aku menurunkan standar kerjaku.

"Proses pemikiran saya terlalu lamban. Seandainya mayat McPherson ditemukan di kolam, saya pasti langsung tahu. Handuk yang tak terpakai itulah yang menyesatkan saya. Saya mengira ia belum sempat mencebur ke kolam, padahal sebenarnya sudah dan begitu tertimpa musibah, dia berpakaian tanpa mengeringkan badan. Mula-mula saya sama sekali tak memikirkan kemungkinan dia diserang makhluk air. Itulah kekeliruan saya, Inspektur. Terus terang saya sering mencemooh cara kerja polisi, dan rupanya dendam Anda nyaris berhasil dibalaskan Cyanea capillata."

Read More

Cerita Sherlock Holmes 2


Di ruang penyimpanan barang-barang berharga Bank Cox & Co di Charing Cross, terdapat kotak timah tua berlabelkan namaku, John H. Watson, M.D., Late Indian Army. Kotak yang sudah mulai usang itu penuh berisi kertas, hampir semuanya merupakan catatan kasus-kasus unik yang pernah ditangani Mr. Sherlock Holmes. Beberapa di antaranya, walaupun cukup menarik, ternyata tak berhasil dipecahkan misterinya, dan karenanya tak layak disajikan kepada pembaca. Masalah tanpa jalan keluar mungkin menarik perhatian mahasiswa, tapi sangat mengganggu pembaca. Salah satu contoh kegagalan Holmes adalah dalam kasus Mr. James Phillimore, yang tak pernah terlihat lagi batang hidungnya di bumi sejak ia melangkah kembali ke dalam rumahnya untuk mengambil payung. Yang tak kalah peliknya adalah misteri lenyapnya kapal Alicia yang berlayar pada suatu pagi di musim semi yang berkabut. Sejak berangkatnya, tak ada berita lebih lanjut baik tentang nasib kapal itu maupun awak kapalnya. Kasus ketiga yang pantas dikemukakan di sini ialah kasus Isadora Persano, wartawan dan jago duel terkenal, yang ditemukan dalam keadaan gila dengan kotak korek api berisi ulat misterius di hadapannya.

Di samping kasus-kasus yang tak terpecahkan ini, ada beberapa kasus lain menyangkut rahasia pribadi keluarga bangsawan yang bila diterbitkan akan menimbulkan keresahan. Namun tentu saja aku dan sahabatku Holmes tidak berniat menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan kepada kami. Catatan kasus-kasus itu akan dipisahkan dan dihancurkan oleh sahabatku saat ini juga karena kebetulan dia punya waktu dan tenaga. Nah, kisah-kisah selebihnyalah yang berhak kusodorkan kepada pembaca. Sebetulnya jauh-jauh hari aku sudah bermaksud mengisahkannya, hanya aku khawatir pembaca akan menjadi jenuh sehingga reputasi sahabatku bisa jatuh. Dalam beberapa kasus, aku ikut terlibat dalam penyelidikannya dan menampilkan diri sebagai saksi mata, sedangkan dalam kasus-kasus lainnya aku tak berperan atau sedikit saja ikut berperan, sehingga aku mengambil posisi orang ketiga. Kisah berikut ini kuangkat dari pengalamanku sendiri.

Pada suatu pagi di bulan Oktober yang muram, sementara berpakaian, aku memperhatikan daun-daun dibawa angin menjauhi pepohonan asal mereka dan memenuhi halaman belakang tempat tinggal kami. Aku turun untuk makan pagi, dan menduga akan menemukan sahabatku dalam keadaan tertekan, karena sebagaimana seniman-seniman besar, Holmes gampang sekali terpengaruh keadaan sekelilingnya. Berlawanan dengan dugaanku, dia ternyata sudah hampir selesai makan pagi, dan suasana hatinya pun riang. "Kau sedang punya kasus, Holmes?" tanyaku.

"Kemampuan menarik kesimpulan rupanya menular, ya, Watson," jawabnya, "sehingga kau bisa menerka rahasiaku. Ya, aku sedang punya kasus. Setelah sebulan mengurusi hal-hal sepele, kini roda-roda otakku mulai berfungsi lagi."

"Apakah aku boleh tahu?"

"Tak banyak yang dapat kusampaikan padamu, tapi kita bisa membicarakannya kalau kau sudah menelan dua telur rebus yang dimasak terlalu matang oleh tukang masak kita yang baru. Keadaannya bisa jadi ada hubungannya dengan majalah Family Herald yang kemarin kulihat di meja ruang depan. Bahkan hal sepele seperti merebus telur membutuhkan ketepatan waktu, yang mestinya tak boleh diseling dengan membaca kisah cinta dalam majalah yang bagus itu."

Seperempat jam kemudian, meja telah dibersihkan dan kami duduk berhadapan muka. Holmes mengeluarkan surat dari sakunya.

"Pernah dengar nama Neil Gibson, sang Raja Emas?" tanyanya.

"Maksudmu senator Amerika itu?"

"Well, dia pernah menjabat senator di salah satu negara bagian di sebelah barat, tapi dia lebih dikenal sebagai pemilik tambang emas terbesar di dunia."

"Ya, aku tahu dia. Dia menetap di London sejak beberapa waktu lalu. Namanya tak asing bagiku."

"Ya, dia membeli tanah yang sangat luas di Hampshire kira-kira lima tahun yang lalu. Kau mungkin sudah mendengar tentang kematian tragis istrinya?"

"Tentu saja. Aku ingat sekarang. Itulah sebabnya nama itu tak asing bagiku. Tapi aku sama sekali tak tahu perincian kejadiannya."

Holmes melambaikan tangannya ke arah koran-koran di kursi. "Aku tak mengira kasus ini akan kutangani. Kalau tahu, aku pasti sudah menyiapkan bahan-bahannya," katanya. "Kenyataannya, masalah itu walaupun sangat sensasional, tampaknya tak rumit. Kepribadian tersangka memang menarik, tapi itu tak membuat kabur bukti-bukti yang sudah cukup jelas, begitulah pandangan penyidik. Kasus itu sekarang dibawa ke pengadilan di Winchester. Aku khawatir penyelidikanku akan sia-sia, Watson. Aku bisa saja menggali fakta, tapi aku tak dapat mengubahnya, kan? Kecuali muncul bukti-bukti yang sama sekali baru dan tak terduga, aku tak melihat ada harapan bagi klien kita."

"Klien?"

"Ah, aku lupa mengatakannya padamu. Aku ketularan kebiasaan jelekmu, Watson, yaitu menceritakan sesuatu dari belakang. Sebaiknya kaubaca ini dulu."

Surat yang diserahkannya kepadaku ditulis tangan. Tulisannya mantap dan meyakinkan. Bunyinya sebagai berikut:

    Hotel Claridge,
    3 Oktober

    Mr. Sherlock Holmes yang terhormat,

    Saya tak bisa berpangku tangan melihat wanita paling baik hati yang pernah diciptakan Tuhan akan dihukum mati. Saya tak bisa menjelaskan semuanya di sini�bahkan takkan mencoba melakukannya�tapi saya yakin benar bahwa Miss Dunbar tak bersalah. Anda pasti tahu detail peristiwanya�siapa yang tidak? Tragedi ini sudah menjadi buah bibir di seluruh negeri. Dan tak ada satu pun suara yang membelanya! Semua ketidakadilan inilah yang membuat saya gila. Wanita itu bahkan tak sampai hati membunuh lalat. Well, saya akan datang pukul sebelas besok untuk mendapatkan secercah cahaya dalam kegelapan. Saya mungkin punya petunjuk tanpa menyadarinya. Pokoknya, apa pun yang saya tahu, apa pun yang saya miliki, bagaimanapun keadaan saya, saya siap membantu asalkan Anda bisa menyelamatkannya. Saya menantang Anda untuk menunjukkan kemampuan Anda dalam memecahkan permasalahan ini.

    Hormat saya,
    J. Neil Gibson

"Nah, kau sudah tahu sekarang," kata Sherlock Holmes sambil mengetuk-ngetukkan pipa rokoknya untuk mengeluarkan sisa abu di dalamnya, lalu pelan-pelan mengisinya lagi. "Pria itulah yang sedang kutunggu. Sedangkan kisahnya�berhubung kau belum sempat membaca semua surat kabar itu�akan kusingkat saja kalau memang kau berminat ikut serta dalam penanganan kasus ini. Pria ini orang terkaya di dunia, dan setahuku sifatnya sangat garang. Istrinyalah yang terbunuh dalam tragedi ini. Aku tak tahu apa-apa tentang si istri, kecuali dia berumur separo baya dan telah melewati masa jayanya. Malang baginya, di tengah keluarganya hadir guru les muda yang sangat menawan yang mengajar kedua anaknya yang masih kecil. Itulah ketiga tokoh yang terlibat, dan lokasi kejadiannya adalah rumah bangsawan kuno yang besar. Sekarang mengenai tragedi itu sendiri. Sang istri ditemukan tergeletak di tanah hampir setengah mil dari rumah, pada pukul sebelas malam. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya waktu makan malam. Syal melilit di lehernya, peluru menembus otaknya. Tak ditemukan senjata di dekatnya dan tak ditemukan petunjuk di sekeliling tempat pembunuhan itu. Tak ditemukan senjata di dekatnya, Watson�perhatikan itu! Pembunuhan tampaknya dilakukan beberapa jam sebelumnya, dan mayatnya ditemukan pengawas hutan. Polisi dan dokter sempat memeriksa keadaan mayat, sebelum diangkat masuk ke rumahnya. Apakah penuturanku terlalu padat? Bisakah kau mengikutinya dengan jelas?"

"Sangat jelas. Tapi mengapa guru les itu yang dituduh?"

"Well, pertama-tama karena ada bukti langsung yang ditemukan. Pistol yang pelurunya telah terpakai satu dan ukurannya cocok dengan yang ditembakkan ke korban, ditemukan tergeletak di dasar lemari pakaiannya." Mata sahabatku menjadi serius dan dia mengulang kalimat terakhir dengan terpatah-patah, "Tergeletak-di-dasar-lemari-pakaiannya." Dia terdiam, tenggelam dalam alam kembaranya sendiri. Aku tak berani mengusiknya. Tiba-tiba, dengan lonjakan yang mengejutkan, dia kembali ke dunia nyata. "Ya, Watson, begitulah kenyataannya. Bukti yang sangat memberatkan, bukan? Lebih-lebih lagi, di tangan korban terdapat surat dari sang guru les berisi janji pertemuan mereka di tempat yang kemudian menjadi lokasi pembunuhan. Dan wanita muda itu memiliki motif, Watson. Kalau si istri disingkirkan, ia punya peluang besar untuk menjadi pendamping Senator Gibson yang memang sudah lama memperhatikannya. Asmara, kekayaan, pangkat berada dalam genggamannya. Parah, Watson�sangat parah!"

"Memang benar, Holmes."

"Wanita itu tak punya alibi. Sebaliknya, dia telah mengakui berada di dekat Jembatan Thor�di situlah tragedi itu terjadi�sekitar jam pembunuhan. Dia tak bisa mengingkarinya karena ada saksi mata."

"Jadi tampaknya sudah final."

"Tapi, Watson... tapi! Jembatan batu yang sisi-sisinya berdinding batu ini membentang di atas bagian yang paling dangkal Danau Thor. Di mulut jembatan inilah korban tergeletak. Nah, kau sudah mendengar fakta-fakta utamanya. Kini kita akan menemui klien kita, yang rupanya datang agak awal."

Billy membuka pintu, tapi nama yang disampaikan kepada kami bukan yang sedang kami tunggu. Kami berdua tak mengenal Mr. Marlow Bates. Orangnya kurus, gemetaran, matanya ketakutan, sikapnya ragu-ragu�dalam pandanganku dia benar-benar sedang mengalami tekanan batin yang hebat.

"Anda kelihatan cemas, Mr. Bates," kata Holmes. "Silakan duduk. Tapi saya cuma punya waktu sedikit, karena saya ada janji pada jam sebelas."

"Saya tahu," sergah tamu kami terengah-engah. "Mr. Gibson mau datang. Dia majikan saya, Mr. Holmes. Saya mengurus rumah dan tanahnya. Mr. Gibson itu penjahat�penjahat yang sangat berbahaya."

"Istilah Anda keras sekali, Mr. Bates."

"Saya harus tegas, Mr. Holmes, karena waktunya sangat terbatas. Jangan sampai dia melihat saya di sini. Tak lama lagi dia akan tiba. Tapi saya begitu sibuk, sehingga tak bisa kemari sebelum ini. Sekretarisnya, Mr. Ferguson, baru tadi pagi mengatakan kepada saya bahwa dia ada janji dengan Anda."

"Tadi Anda katakan Anda yang mengurus rumah dan tanahnya?"

"Saya sudah minta berhenti. Dua minggu lagi saya akan terbebas dari perbudakan. Dia orangnya keras, Mr. Holmes, keras terhadap semua orang di sekelilingnya. Kedermawanan yang digembar-gemborkannya hanyalah topeng untuk menutupi kebobrokan moralnya. Tapi yang paling sering menjadi korban adalah istrinya. Dia sangat brutal terhadapnya�ya, Sir, brutal! Bagaimana wanita itu menemui ajalnya saya tidak tahu, tapi saya yakin majikan saya telah membuat hidupnya sangat menderita. Anda tentu tahu si istri berasal dari negara tropis, Brazilia..." ,

"Tidak, informasi itu belum sampai ke saya."

"Dia wanita tropis yang berdarah panas, dan mati-matian mencintai suaminya. Namun ketika pesonanya memudar�padahal orang bilang dulu dia sangat cantik�tak ada lagi yang memikat suaminya. Kami semua menyukainya dan sangat iba terhadapnya, dan kami benci pada suaminya yang telah memperlakukannya dengan begitu buruk. Tapi si suami licik dan banyak akal. Hanya itu yang ingin saya katakan pada Anda. Jangan terpengaruh penampilan fisiknya. Di baliknya sangat lain. Nah, saya harus pergi. Jangan. Jangan halangi saya! Majikan saya hampir tiba di sini."

Sambil menatap jam dengan penuh ketakutan, tamu kami yang aneh ini berlari ke pintu dan menghilang.

"Well! Well!" kata Holmes setelah terdiam sejenak. "Karyawan-karyawan Mr. Gibson tampaknya sangat 'setia' kepadanya. Tapi peringatan Mr. Bates ada gunanya, dan sekarang kita hanya bisa menunggu sampai yang bersangkutan datang kemari."

Tepat pada waktu yang sudah ditetapkan, kami mendengar langkah-langkah berat di tangga, dan miliarder tersohor itu diantarkan masuk ke ruangan kami. Ketika menatapnya, aku mengerti kenapa tak hanya karyawannya yang begitu takut dan membencinya, tetapi juga saingan-saingan bisnisnya. Seandainya aku pematung dan ingin membuat sosok orang yang sukses dan berkarakter sekeras baja, pilihanku akan jatuh kepada Mr. Neil Gibson. Figurnya tinggi besar, mirip Abraham Lincoln tanpa tanda jasa kepahlawanan. Wajahnya bagaikan berlapis granit, keras, tak mengenal belas kasihan, dengan garis-garis mencolok yang menandakan banyaknya krisis yang dialaminya. Mata abu-abunya dengan dingin menatap kami. Dia membungkuk sedikit ketika Holmes menyebutkan namaku, lalu dengan gaya penuh kuasa menarik kursi dan duduk di samping Holmes, begitu dekat sampai lututnya yang kurus nyaris menyentuh sahabatku.

"Pertama-tama perlu saya katakan, Mr. Holmes," dia memulai penuturannya, "uang tak jadi masalah untuk saya dalam kasus ini. Anda bahkan boleh membakar uang saya kalau itu dapat membantu memecahkan masalahnya. Wanita ini tak bersalah dan perlu dibela dan Andalah yang akan melakukan hal itu. Sebut saja berapa harga yang Anda minta."

"Biaya jasa saya sudah ada ketentuannya," kata Holmes dingin. "Saya tak membeda-bedakan, kecuali terhadap mereka yang tidak mampu. Mereka dapat memanfaatkan jasa saya tanpa biaya sepeser pun."

"Well, kalau uang tak ada artinya bagi Anda, pikirkanlah reputasi Anda. Bila kali ini Anda berhasil, semua surat kabar di Inggris dan Amerika akan memuja Anda. Anda akan menjadi bahan pembicaraan di dua benua."

"Terima kasih, Mr. Gibson. Saya rasa saya tak perlu dipuja orang. Anda mungkin terkejut kalau saya mengatakan saya lebih suka bekerja tanpa menyebutkan nama saya, dan yang lebih menarik bagi saya adalah jenis masalahnya. Tapi, kita sudah membuang buang waktu, tolong sampaikan saja fakta-faktanya."

"Saya rasa Anda sudah tahu yang penting-penting dari laporan para wartawan, kan? Saya tak tahu apakah ada yang perlu saya tambahkan. Namun kalau ada yang ingin Anda perjelas saya siap melakukannya."

"Well, hanya ada satu hal."

"Apa itu?"

"Bagaimana sebenarnya hubungan Anda dengan Miss Dunbar?"

Raja Emas itu terkejut sekali dan hendak bangkit dari duduknya. Tapi dia kemudian bisa menguasai diri, dan menjadi tenang kembali.

"Tentunya Anda punya hak untuk menanyakan pertanyaan macam begitu dalam tugas Anda, Mr. Holmes?"

"Sebaiknya dianggap begitu," kata Holmes.

"Hubungan kami hanyalah antara majikan dan guru les anak-anaknya, Anda harus yakin itu. Saya tak pernah berbicara atau menemuinya kecuali kalau dia bersama anak anak saya."

Holmes bangkit dari duduknya.

"Saya ini orang sibuk, Mr. Gibson," katanya, "dan saya tak punya waktu atau minat untuk membicarakan sesuatu yang tak ada ujung-pangkalnya. Sampai ketemu lagi."

Tamu kami juga berdiri, dan figurnya yang jangkung bagaikan menara di samping Holmes. Matanya menyorotkan kemarahan dan pipinya memerah.

"Apa gerangan yang Anda maksud dengan semua ini, Mr. Holmes? Anda tak mau terima kasus saya?"

"Well, Mr. Gibson, paling tidak saya tak menerima kehadiran Anda. Saya rasa kata-kata saya cukup jelas, kan?"

"Cukup jelas, tapi ada apa di belakang semua ini? Mau minta tambah bayaran, atau takut menangani, atau apa? Saya punya hak untuk mendapatkan penjelasan."

"Well, Anda mungkin sudah mendapatkannya," kata Holmes. "Akan saya tambahkan satu lagi. Kasus ini cukup rumit, apalagi kalau informasinya salah."

"Berarti saya berbohong, begitu?"

"Saya baru mencoba mengatakannya sehalus mungkin, tapi jika Anda memilih kata itu, saya setuju saja."

Aku bersiap maju, karena ekspresi miliarder itu sangat mengerikan, dan dia telah mengangkat tinjunya. Holmes tersenyum kecil, lalu mengambil pipa rokoknya.

"Jangan membuat keributan, Mr. Gibson. Bagi saya, setelah makan pagi, pertengkaran kecil pun bisa sangat mengganggu. Saya sarankan agar Anda berjalan-jalan menghirup udara pagi agar pikiran Anda tenang."

Dengan susah payah, sang Raja Emas mengendalikan amarahnya. Aku sangat kagum padanya karena dia bisa menguasai diri, dalam sekejap mengubah bara kemarahan menjadi sikap acuh tak acuh dan meremehkan.

"Kalau begitu kemauan Anda, baiklah. Saya rasa Anda tahu bagaimana Anda menjalankan bisnis Anda sendiri. Saya tak bisa memaksa Anda menangani kasus ini kalau Anda tidak bersedia. Anda telah bertindak keliru pagi ini, Mr. Holmes, karena saya telah mengalahkan banyak orang yang lebih kuat dari Anda. Tak ada orang yang menentang saya dan lolos begitu saja."

"Banyak yang berkata seperti itu pada saya, namun ternyata saya tetap di sini," kata Holmes tersenyum. "Selamat pagi, Mr. Gibson. Anda perlu belajar banyak."

Tamu kami meninggalkan ruangan dengan langkah yang memekakkan telinga, tapi Holmes dengan tenangnya mengisap pipa. Matanya menatap kosong ke langit-langit.

"Apa pendapatmu, Watson?" tanyanya akhirnya.

"Well, Holmes, menurutku karena orang ini selalu menyapu bersih apa pun yang merintangi niatnya, dan si istri yang sudah tidak dicintainya kemungkinan besar merupakan penghalang baginya, bisa saja..."

"Tepat sekali. Pendapatku demikian."

"Tapi bagaimana sebenarnya hubungannya dengan guru les itu, dan bagaimana kau bisa tahu mereka ada hubungan?"

"Cuma gertakan, Watson, cuma gertakan! Ketika kubandingkan nada suratnya yang begitu pribadi dan penuh perasaan dengan sikap dan penampilannya yang begitu resmi, jelas dia punya perasaan mendalam terhadap wanita tersangka, bukan kepada korban yang notabene istrinya sendiri. Kita harus mengerti dengan jelas bagaimana hubungan ketiga orang itu kalau kita mau menemukan kebenaran. Kaulihat sendiri serangan langsung yang kuarahkan kepadanya, dan bagaimana reaksinya. Lalu kugertak dia dengan memberi kesan seolah-olah aku benar-benar yakin, padahal sebenamya aku hanya curiga."

"Ada kemungkinan dia akan kembali ke sini?"

"Dia pasti kembali. Dia harus kembali. Dia tak mungkin mengabaikan masalah ini. Ha! Ada bunyi bel! Ya, kedengaran langkah kakinya. Well, Mr. Gibson, saya baru saja mengatakan kepada Dr. Watson bahwa Anda sedang menuju ke sini."

Sang Raja Emas memasuki ruangan kami, kali ini dengan sikap yang lebih hati-hati. Amarah dan rasa tersinggung masih terpancar dari sorot matanya, tapi nalarnya rupanya lebih menguasai dirinya. Ia sadar bahwa ia harus mengalah kalau ingin maksudnya tercapai.

"Saya telah memikirkannya, Mr. Holmes, dan saya merasa saya tadi terlalu terburu nafsu dalam menyalahartikan komentar-komentar Anda. Anda sekarang boleh mendapatkan fakta-faktanya, apa saja yang Anda butuhkan, dan saya pikir makin banyak makin baik. Tapi saya jamin, hubungan saya dengan Miss Dunbar sama sekali tak berhubungan dengan kasus ini."

"Biarlah saya yang memutuskan hal itu, setuju?"

"Ya, saya rasa begitu. Anda seperti ahli bedah, yang mau tahu setiap gejala sebelum memberikan diagnosis."

"Tepat sekali. Ungkapan Anda bagus sekali. Dan hanya pasien yang punya niat tertentu yang membohongi ahli bedahnya dengan cara menyembunyikan fakta-fakta penyakitnya."

"Bisa jadi begitu, tapi harus Anda akui, Mr. Holmes, kebanyakan pria akan malu kalau mereka ditanya secara blak-blakan tentang hubungannya dengan wanita�seandainya memang ada perasaan serius dalam hal ini. Saya rasa kebanyakan pria punya rahasia pribadi yang disembunyikannya dari orang lain. Dan Anda tiba-tiba nyelonong masuk ke daerah rahasia itu. Tapi saya memaafkan tindakan Anda karena Anda melakukannya untuk menyelamatkan wanita itu. Nah, semuanya siap dibuka dan dibeberkan. Apa yang ingin Anda ketahui?"

"Situasi yang sebenarnya."

Selama beberapa saat sang Raja Emas terenyak, seolah sedang mengerahkan pikirannya. Wajahnya yang angker dan berkerut-kerut tampak semakin sedih dan murung.

"Saya bisa menyampaikannya secara singkat, Mr. Holmes," katanya akhirnya. "Ada beberapa hal yang sangat menyakitkan dan juga sangat-sulit diceritakan, jadi akan saya ceritakan yang Anda butuhkan saja. Saya bertemu istri saya ketika saya mencari tambang emas di Brazil. Maria Pinto adalah putri pejabat pemerintah di Manaos, dan dia sangat cantik. Saya masih muda dan bergairah saat itu, tapi sampai sekarang pun, ketika saya mengingat kembali dengan lebih tenang dan kritis, harus saya akui dia memiliki kecantikan yang langka. Dia sangat menawan, penuh kasih sayang, baik hati, ceria, sama sekali berbeda dari wanita-wanita Amerika yang pernah saya kenal. Singkat cerita, saya jatuh cinta padanya lalu menikahinya. Ketika asmara kami sudah tak menggebu-gebu lagi�setelah beberapa tahun berlalu�baru saya sadari kami berdua tidak cocok. Cinta saya pun meredup. Seandainya cintanya terhadap saya juga meredup, semuanya akan jadi lebih mudah. Tapi Anda tahu bagaimana hati wanita! Apa pun yang saya lakukan ternyata tak mampu mengubah perasaannya. Jika saya kasar terhadapnya, bahkan brutal seperti yang mungkin dikatakan orang-orang, itu saya lakukan untuk memadamkan cintanya terhadap saya. Namun semuanya sia-sia. Selama hidup di daerah pedalaman Inggris, dia tetap saja memuja saya sebagaimana dua puluh tahun yang lalu ketika kami masih tinggal di tepi Sungai Amazon. Apa pun yang saya lakukan terhadapnya, dia tetap mencintai saya.

"Lalu datanglah Miss Grace Dunbar. Dia menjawab iklan kami dan menjadi guru les kedua anak kami. Anda mungkin sudah melihat fotonya di surat-surat kabar. Semua orang mengakui dia juga sangat cantik. Nah, saya tak ingin berpura-pura lebih bermoral dari lelaki-lelaki lain, saya akui saya tak bisa tinggal seatap dan setiap hari bertemu dengan wanita seperti itu tanpa tertarik kepadanya. Apakah saya salah, Mr. Holmes?"

"Saya tak menyalahkan perasaan tertarik Anda, tapi masalahnya berbeda kalau perasaan itu Anda ungkapkan padanya, karena wanita muda ini bisa dibilang berada dalam perlindungan Anda."

"Well, mungkin begitu," kata miliarder itu, walaupun sesaat celaan Holmes sempat menyebabkan sinar kemarahan di matanya. "Saya tak mau berpura-pura lebih baik dari keadaan saya sebenarnya. Saya kira sepanjang hidup saya, saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan, dan waktu itu tak ada yang lebih saya dambakan daripada memiliki wanita itu dan mendapatkan cintanya. Saya pun mengatakan hal itu kepadanya."

"Oh, begitu?"

Holmes bisa tampak angker kalau hatinya tergerak.

"Saya katakan padanya kalau saja saya bisa menikahinya, akan saya lakukan itu, tapi saya tak berdaya dalam hal ini. Saya katakan uang bukan masalah bagi saya, dan apa saja yang bisa saya lakukan untuk membuatnya bahagia dan menyenangkan hatinya akan saya lakukan."

"Anda royal sekali, ya?" kata Holmes tersenyum sinis.

"Dengar, Mr. Holmes, saya datang kemari untuk berkonsultasi tentang kasus pembunuhan, bukan masalah moral. Saya tak butuh kritik Anda."

"Saya bersedia menangani kasus Anda semata-mata demi wanita muda itu," kata Holmes ketus. "Menurut saya tuduhan yang ditimpakan kepadanya sekarang tidak lebih berat dari pelanggaran yang telah Anda lakukan. Anda telah mencoba menghancurkan hidup gadis tak berdaya yang menumpang di rumah Anda. Pria-pria kaya seperti Anda harus diberi pelajaran bahwa tak semua orang bisa dibeli dengan uang."

Betapa terkejutnya aku karena sang Raja Emas ternyata menerima celaan itu dengan sangat tenang.

"Sekarang saya menyesali perbuatan saya. Dan saya bersyukur rencana-rencana saya itu tidak terlaksana. Gadis itu menolak mentah-mentah tawaran saya, dan berniat meninggalkan rumah saya."

"Kenapa dia tak jadi pergi?"

"Well, pertama-tama, dia punya banyak tanggungan, dan tak mungkin dia membiarkan keluarganya kekurangan. Ketika saya berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengganggunya lagi, dia akhirnya setuju untuk tetap tinggal. Tapi ada alasan lain lagi. Dia tahu dia dapat mempengaruhi saya, pengaruhnya lebih besar dari apa pun yang ada di dunia. Dan dia ingin memanfaatkannya untuk melakukan hal-hal yang terpuji."

"Bagaimana caranya?"

"Well, dia tahu sedikit tentang bisnis saya. Usaha saya sangat besar, Mr. Holmes�jauh lebih besar dari dugaan orang. Saya bisa membangun atau menghancurkan�dan biasanya saya menghancurkan. Bukan satu orang yang nasibnya ada di tangan saya, Mr. Holmes, tapi masyarakat, seluruh kota, bahkan bangsa. Bisnis itu kejam, dan mereka yang lemah akan tersingkir. Selama ini saya berkiprah tanpa pandang bulu. Saya tak pernah mengasihani diri saya, juga tak pernah kasihan kepada orang lain. Tapi dia melihatnya dari sudut lain. Saya rasa dia benar. Dia bilang orang tak boleh menumpuk kekayaan dengan mengorbankan ribuan orang yang kurang beruntung. Dia percaya ada hal-hal yang lebih berharga dari uang. Pendapat dan nasihatnya saya turuti, Mr. Holmes, dan dia tahu itu. Dia yakin telah berbuat kebajikan bagi dunia dengan mempengaruhi tindakan-tindakan saya. Itulah sebabnya dia mengurungkan niatnya meninggalkan rumah saya. Lalu musibah ini terjadi."

"Anda bisa menjelaskannya?"

Sejenak sang Raja Emas tepekur, kepalanya tertelungkup pada kedua tangannya.

"Peristiwa itu sangat menyudutkannya. Itu jelas. Isi hati wanita memang sulit diduga. Dia bisa melakukan hal-hal yang tak dapat dimengerti pria. Pada awalnya, saya begitu cemas dan bingung sehingga saya pikir dia telah melakukannya karena kerasukan. Kemudian timbul pikiran lain dalam benak saya. Begini, Mr. Holmes, istri saya sangat mencemburuinya. Meskipun dia tak punya alasan untuk mengungkapkan kecemburuannya secara terang-terangan, perasaan itu mencabik-cabik hatinya. Dia sadar gadis Inggris ini telah berhasil mempengaruhi pikiran dan sikap saya, padahal dia sendiri tak mampu melakukannya. Miss Dunbar sebenarnya membawa perubahan positif dalam hidup saya, tapi itu membuat istri saya semakin membencinya, lebih-lebih karena dia wanita tropis yang berdarah panas. Jadi saya pikir, bisa saja dia mempunyai rencana untuk membunuh Miss Dunbar�atau katakanlah menakut-nakutinya dengan pistol agar gadis itu meninggalkan rumah kami. Mungkin terjadi pergumulan di antara mereka dan pistol itu meletus mengenai pembawanya sendiri."

"Kemungkinan itu telah pula saya pikirkan," kata Holmes. "Itu satu-satunya alternatif untuk melawan tuduhan pembunuhan berencana."

"Tapi hal ini pun dengan keras disangkalnya."

"Well, itu belum kata akhir, kan? Bisa dimengerti wanita yang berada dalam keadaan yang begitu tak menguntungkan, lalu bergegas pulang dan karena kagetnya malah membawa pistol itu. Mungkin dia menyembunyikan pistol itu di lemari pakaiannya, tanpa menyadari apa yang dilakukannya, dan ketika alat pembunuh itu ditemukan dia bisa saja mencoba berbohong dengan menyangkal keterlibatannya, karena tak ada kemungkinan untuk memberikan penjelasan lain. Masuk akal, bukan?"

"Ya, hanya Miss Dunbar sendiri bersikeras menyangkalnya."

"Yah, kita lihat saja nanti."

Holmes melirik jam tangannya. "Saya yakin kita bisa mendapatkan surat izin pagi ini, lalu pergi ke Winchester dengan kereta api malam. Kalau saya sudah bertemu dengan gadis ini, mungkin kasusnya akan lebih jelas bagi saya, walaupun saya tak berani janji bahwa kesimpulan saya akan sejalan dengan kemauan Anda."

Ada sedikit kesulitan untuk mendapatkan surat izin itu, dan kami tak jadi pergi ke Winchester melainkan ke Thor, tanah Mr. Neil Gibson di Hampshire. Dia tak menemani kami, tapi kami diberi alamat Sersan Coventry, polisi setempat yang pertama kali menyidik kasus ini. Dia berperawakan tinggi, kurus, dan pucat. Sikapnya misterius dan penuh rahasia, memberi kesan bahwa dia tahu atau punya kecurigaan yang jauh melebihi apa yang berani dia katakan. Dia juga punya kelihaian untuk secara tiba-tiba mengecilkan volume suaranya menjadi bisikan bila sepertinya dia tiba pada bagian cerita yang sangat penting, padahal informasinya ternyata sepele saja. Di balik semua sikapnya yang aneh, sebenarnya dia orang baik dan jujur, yang terlalu sombong untuk mengakui bahwa kemampuannya terbatas dan untuk menerima bantuan orang lain.

"Bagaimanapun, saya lebih suka bertemu Anda daripada Scotland Yard, Mr. Holmes," katanya. "Bila diminta menyelidiki suatu kasus, mereka tak pernah menghargai polisi lokal sedikit pun kalau sukses. Tapi kalau gagal, polisi lokallah yang disalahkan. Nah, kalau Anda biasanya kerjanya lurus, begitulah yang saya dengar."

"Nama saya bahkan tak perlu muncul sama sekali," kata Holmes. Teman baru kami yang melankolis itu merasa lega. "Kalaupun saya berhasil, saya tak minta nama saya disebut-sebut."

"Wah, Anda sangat murah hati. Dan teman Anda Dr. Watson pasti bisa dipercaya. Mari, Mr. Holmes, kita berjalan ke lokasi kejadian, dan ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan. Hanya kepada Anda saya berani menanyakannya." Dia menengok ke sekeliling seolah-olah ketakutan. "Apakah Anda tak menduga adanya tuntutan terhadap Mr. Neil Gibson sendiri?"

"Saya sudah mempertimbangkan hal itu."

"Anda belum pernah berjumpa dengan Miss Dunbar, ya? Gadis itu perangainya manis sekali. Mr. Gibson mungkin memang ingin menyingkirkan istrinya. Dan orang-orang Amerika kan lebih gampang mencabut pistol daripada kita. Pistol itu kepunyaannya." .

"Apakah fakta itu sudah dicek kebenarannya?"

"Ya, Sir. Pistol itu salah satu dari sepasang pistol kembar yang dimilikinya."

"Salah satu pistol kembar? Di mana yang satunya?"

"Well, pria itu memiliki banyak senjata yang modelnya macam-macam. Kami belum menemukan pasangannya... yang jelas kotaknya disediakan untuk dua pistol."

"Kalau pasangannya ada, pastilah tak sulit mencocokkannya."

"Semua pistol itu ada di rumahnya. Anda bisa mengeceknya sendiri jika Anda mau."

"Mungkin nanti saja. Sebaiknya kita melihat lokasi kejadian dulu."

Pembicaraan ini berlangsung di depan rumah kecil Sersan Coventry yang sekaligus menjadi kantor polisi setempat. Kami berjalan kira-kira setengah mil melewati tanah lapang yang anginnya menderu-deru dan kami dipenuhi warna keemasan dan keperakan daun-daun pakis yang hampir layu. Akhirnya kami sampai di gerbang terbuka yang menuju Thor. Lewat jalan setapak kami menembus hutan lindung, hingga kami tiba di tempat terbuka. Dari sana kami dapat melihat rumah besar yang separonya terbuat dari kayu, modelnya campuran gaya Tudor dan Georgian, di puncak bukit. Di samping kami terdapat kolam panjang penuh dengan alang-alang, yang bagian tengahnya agak menyempit dan di atasnya ada jembatan batu untuk jalan kereta. Kedua ujung kolam semakin lama semakin membesar masing-masing menuju danau. Penunjuk jajan kami berhenti di mulut jembatan itu, lalu menunjuk ke tanah.

"Di situlah mayat Mrs. Gibson ditemukan. Saya menandainya dengan batu itu."

"Saya yakin Anda sudah berada di lokasi sebelum mayatnya diangkat?"

"Ya, mereka langsung memanggil saya."

"Siapa yang memanggil Anda?"

"Mr. Gibson sendiri. Begitu tanda bahaya berbunyi dia langsung berlari keluar rumah bersama penghuni-penghuni lainnya, dan dia memerintahkan agar jangan ada yang disentuh sampai polisi datang."

"Tindakan yang bijaksana. Saya baca di surat kabar bahwa tembakannya berasal dari jarak dekat."

"Ya, Sir, sangat dekat."

"Dekat pelipis kanan?"

"Tepat di belakang pelipis kanan, Sir."

"Bagaimana posisi mayat?"

"Tertelentang, Sir. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Tak ada bekas pukulan. Tak ada senjata. Surat pendek yang berasal dari Miss Dunbar tergenggam erat di tangan kirinya."

"Tergenggam erat, kata Anda?"

"Ya, Sir, kami hampir tak bisa membuka jari-jarinya."

"Itu penting sekali. Itu menunjukkan bahwa tak ada orang lain yang telah menempatkan surat itu setelah kematiannya dengan tujuan memberikan petunjuk palsu. Wah! Surat itu, seingat saya, pendek saja:

    Saya akan berada di Jembatan Thor pada pukul sembilan.
    G. Dunbar.

Betul?"

"Ya, Sir."

"Apakah Miss Dunbar mengaku memang dia yang menulis surat itu?"

"Ya, Sir."

"Bagaimana penjelasannya?"

"Dia tak mau mengatakan apa-apa. Dia bilang dia akan membela diri di depan pengadilan."

"Masalah ini benar-benar menarik. Hal surat ini masih sangat kabur, kan?"

"Well, Sir," kata penunjuk jalan kami, "menurut saya justru surat itulah yang paling jelas faktanya dalam seluruh kasus ini."

Holmes menggeleng.

"Andaikan surat itu asli dan benar-benar ditulis Miss Dunbar, berarti pasti sudah diterima beberapa saat sebelumnya�mungkin satu atau dua jam sebelumnya. Lalu mengapa wanita ini masih menggenggamnya di tangan kirinya? Mengapa dia menggenggamnya dengan demikian erat? Dia toh tak perlu surat itu lagi dalam pertemuan itu. Bukankah ini hal yang luar biasa?"

"Kalau dipikir-pikir, Sir, Anda benar juga."

"Saya rasa sebaiknya saya duduk diam sejenak dan memikirkan hal ini."

Dia duduk di jembatan, mata abu-abunya yang tajam menatap ke setiap jurusan. Tiba-tiba dia bangkit dan berlari menyeberangi jembatan, lalu dicabutnya lensa pembesar dari sakunya, dan mulailah dia mengamati dinding batu jembatan di sebelah situ.

"Ini aneh," katanya.

"Ya, Sir, kami sudah melihat gompalan itu. Pasti hasil kerja orang iseng yang kebetulan lewat."

Dinding batu itu warnanya abu-abu, tapi di bagian yang gompal putih. Kalau diamati secara teliti, akan terlihat gompalan itu diakibatkan oleh pukulan yang keras.

"Perlu tenaga besar untuk menghasilkan gompalan ini," kata Holmes serius. Dengan tongkatnya dia memukul dinding itu beberapa kali tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. "Ya, pukulannya keras sekali. Tempat gompalan itu juga unik. Bukannya dari atas tapi dari bawah, karena gompalan itu berada di bagian bawah dinding."

"Tapi, jaraknya paling tidak empat setengah meter dari tempat mayat itu ditemukan."

"Ya, jaraknya empat setengah meter. Bisa saja gompalan ini tak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini, tapi perlu juga diperhatikan. Saya kira tak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini. Tak ada jejak kaki, begitu Anda bilang?"

"Tanahnya sekeras besi, Sir. Tak terlihat jejak kaki sama sekali."

"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita akan ke rumah Mr. Gibson dulu untuk melihat koleksi senjatanya, lalu menuju Winchester. Saya ingin menemui Miss Dunbar sebelum melanjutkan penyelidikan."

Mr. Neil Gibson belum kembali dari kota, tapi kami disambut oleh Mr. Bates yang paginya datang ke tempat kami. Dengan sikap ia sinis menunjukkan koleksi senjata yang terdiri atas bermacam-macam bentuk dan ukuran.

"Mr. Gibson punya banyak musuh. Orang yang mengenal watak dan cara hidupnya pasti tak heran akan hal itu," katanya. "Dia tidur ditemani pistol yang siap diledakkan. Dia sangat kejam, Sir, dan kadang-kadang kami semua takut kepadanya. Saya yakin almarhum nyonya kami yang malang pun sering takut pada suaminya."

"Apakah Anda pernah melihat sendiri kekerasan fisik yang dilakukannya terhadap sang istri?"

"Tidak, saya tak berani mengatakan demikian. Tapi, saya sering mendengar dia mengucapkan kata-kata yang kasar, dingin, dan menyakitkan, bahkan di depan para pelayan."

"Kehidupan pribadi miliarder ini tampaknya tak begitu bahagia," komentar Holmes ketika kami menuju stasiun kereta api. "Well, Watson, kita telah mendapatkan banyak fakta, beberapa di antaranya baru, namun aku tetap merasa masih jauh dari kesimpulan akhirnya. Walaupun Mr. Bates tidak menyukai tuannya, dengan jujur dia harus mengatakan bahwa ketika tanda bahaya berbunyi, tuannya berada di ruang baca. Makan malam, selesai jam 20.30, dan semuanya normal saja sampai saat itu. Benar bahwa tanda bahaya berbunyi mendekati tengah malam, tapi tragedi itu sendiri pasti terjadi kira-kira jam sembilan. Tak ada bukti sama sekali bahwa Mr. Gibson ke luar rumah sekembalinya dari kota jam lima sore itu. Sebaliknya, Miss Dunbar, setahuku, mengakui telah membuat janji pertemuan dengan Mrs. Gibson di jembatan. Hanya itu yang dikatakannya. Pembelanya telah menasihatinya agar menyimpan dulu semua pembelaannya. Ada beberapa pertanyaan penting yang perlu kuajukan kepada gadis itu, dan pikiranku takkan tenang sebelum kita menemuinya. Aku harus mengakui kasus ini sangat memberatkan dirinya, kecuali satu hal."

"Apa itu, Holmes?"

"Ditemukannya pistol di lemari pakaiannya."

"Wah, Holmes!" teriakku. "Bagiku itu malah yang paling memberatkan."

"Tidak, Watson. Hal ini telah mengganggu pikiranku sejak pertama kali aku membaca beritanya. Dan sekarang, setelah aku mengamati kasus ini dari dekat, aku semakin yakin ada harapan baginya. Kita harus mencari hal-hal yang konsisten. Jika tak ada konsistensi, kita harus mencurigai tipu muslihat."

"Aku tak paham."

"Begini, Watson. Misalkan kau menjadi gadis itu, yang dengan kepala dan darah dingin mengatur rencana untuk menyingkirkan sainganmu. Kau menulis surat; korbannya sudah datang. Kau membawa senjata; penembakan dilaksanakan. Selesai. Coba katakan padaku, apakah setelah melakukan pembunuhan seperti itu, kau akan membawa pulang senjatanya dan menaruhnya di lemari pakaianmu? Mengapa tak kaubuang saja senjata itu ke kolam yang penuh alang-alang? Lemari pakaianmu adalah tempat pertama yang akan digeledah polisi. Kau memang bukan orang yang pandai mengatur siasat, Watson, tapi aku yakin kau pun takkan bertindak sebodoh itu."

"Bagaimana kalau waktu itu dia dalam keadaan bingung sekali?"

"Tidak, tidak, Watson. Kujamin hal itu takkan terjadi. Kalau pembunuhan sudah direncanakan dengan matang, cara menghilangkan jejaknya juga telah diatur. Itulah sebabnya aku berharap kita sedang menghadapi tipu muslihat yang sangat serius."

"Berarti banyak yang perlu dijelaskan."

"Yah, kita akan mulai melakukannya. Begitu pandanganmu berubah, hal yang paling memberatkanmu bisa menjadi petunjuk untuk menyingkap kebenaran. Misalnya, pistol itu. Miss Dunbar menyatakan tak tahu-menahu soal itu. Menurut teori kita, apa yang dikatakan Miss Dunbar kita anggap semuanya benar. Karena itu, ada orang lain yang menaruhnya di situ. Siapa yang menaruhnya? Orang yang ingin mencelakakannya. Dengan kata lain, si pembunuh sendiri. Kaulihat bagaimana penyelidikan kita akhirnya membuahkan hasil."

Kami terpaksa menginap di Winchester karena surat-surat izin yang diperlukan belum keluar, tetapi keesokan harinya, kami diperbolehkan menemui gadis itu. Ia didampingi pembelanya Mr. Joyce Cummings, pengacara yang sedang naik daun. Dari apa yang selama ini kami dengar, aku memang telah menduga akan menemui gadis cantik, tapi aku takkan pernah melupakan kesan pertamaku ketika melihatnya. Tak heran jika miliarder yang berkuasa itu sampai terpikat padanya. Siapa pun yang menatap gadis itu akan terkesan pada wajahnya yang keras dan cantik, sekaligus sensitif, sehingga kalaupun dia sampai melakukan tindak kekerasan orang harus mengakui bahwa dia memiliki karakter yang terpuji. Gadis itu berambut cokelat, jangkung, figurnya anggun dan penuh pesona, namun mata indahnya yang berwarna gelap memancarkan ekspresi putus asa, seperti binatang yang terperangkap. Ketika dia menyadari kehadiran dan pertolongan yang diupayakan sahabatku yang tersohor, pipinya yang pucat mulai sedikit memerah dan pancaran harapan mulai bersinar dari tatapan matanya yang mengarah kepada kami.

"Mungkin Mr. Neil Gibson telah mengisahkan hubungan kami kepada Anda?" dia bertanya dengan suara lemah dan bernada gelisah.

"Ya," jawab Holmes, "Anda tak perlu menyakiti diri Anda dengan menyampaikan hal itu lagi. Setelah berjumpa dengan Anda, saya percaya Mr. Gibson telah mengatakan yang sebenarnya, baik tentang pengaruh Anda atas dirinya maupun tentang bersihnya hubungan kalian. Tapi mengapa tidak Anda beberkan semuanya di pengadilan?"

"Saya merasa tuduhan yang tak masuk akal seperti itu tak mungkin dibenarkan hakim. Saya pikir kalau kami menunggu, semuanya akan beres dengan sendirinya tanpa kami perlu membeberkan hal-hal menyakitkan yang terjadi dalam keluarga. Tapi kini saya sadar masalah ini bukannya menjadi semakin jelas, tapi malah lebih parah."

"Saudariku yang baik!" teriak Holmes dengan sungguh-sungguh, "saya mohon Anda jangan mempunyai pandangan yang salah tentang kasus ini. Mr. Cummings bisa meyakinkan Anda bahwa saat ini semua bukti sangat memberatkan kita, dan kita harus bekerja keras kalau ingin menang. Merupakan kebohongan yang kejam sekali apabila berpura-pura Anda tidak sedang dalam bahaya besar. Maka dari itu, bantulah kami semaksimal mungkin dalam upaya kami untuk mendapatkan kebenaran."

"Tak ada yang akan saya sembunyikan."

"Kalau begitu, katakanlah kepada kami, tentang hubungan Anda yang sebenarnya dengan istri Mr. Gibson."

"Dia membenci saya, Mr. Holmes. Dia wanita yang tak pernah setengah-setengah melakukan sesuatu, dan sebesar cintanya kepada suaminya, sebesar itulah pula kebenciannya kepada saya. Mungkin dia telah salah mengartikan hubungan kami. Saya tak pernah berniat mengkhianatinya, tapi cintanya yang hanya secara lahiriah itu tak bisa memahami hubungan mental dan spiritual antara suaminya dan saya. Bahkan dia tak bisa membayangkan bahwa maksud saya hanyalah menjadikan suaminya lebih berbudi. Itulah semata-mata yang membuat saya bertahan tinggal di rumah itu. Sekarang saya sadar betapa salahnya tindakan saya. Tak seharusnya saya menyebabkan ketidakbahagiaan dalam keluarga itu, meski tak dapat disangkal bahwa kalaupun saya meninggalkan rumah itu, keadaan mereka takkan berbeda."

"Sekarang, Miss Dunbar," kata Holmes, "saya mohon Anda bersedia menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi pada malam itu."

"Saya bisa menceritakannya hanya sebatas apa yang saya tahu, Mr. Holmes, tapi saya tidak dalam posisi untuk membuktikan sesuatu. Ada beberapa hal yang sangat penting yang justru tak bisa saya jelaskan."

"Jika Anda katakan fakta-faktanya, orang lain mungkin bisa memberikan penjelasannya."

"Baik, sehubungan dengan kehadiran saya di Jembatan Thor malam itu, saya menerima surat dari Mrs. Gibson pada pagi harinya. Surat itu tergeletak di meja tempat saya mengajar, dan mungkin diletakkan di situ oleh Mrs. Gibson sendiri. Dalam surat itu dia meminta dengan sangat agar saya menemuinya di Jembatan Thor setelah makan malam, juga dikatakannya ada sesuatu yang penting yang ingin dikatakannya kepada saya. Dia meminta saya menaruh jawaban saya di jam taman, karena dia tak ingin seorang pun tahu tentang rencana pertemuan ini. Saya tak mengerti mengapa dia harus merahasiakannya, tapi saya lakukan juga sebagaimana dimintanya. Jawaban saya adalah menerima undangannya itu. Dia menyuruh saya melenyapkan surat yang dikirimnya, maka saya pun membakarnya di perapian kamar belajar. Wanita itu sangat takut kepada suaminya, yang memperlakukannya dengan kasar. Saya sering menegur Mr. Gibson atas sikapnya itu. Saya hanya bisa membayangkan wanita itu bertindak demikian karena tidak ingin suaminya tahu tentang pertemuan itu."

"Tapi dia menyimpan surat jawaban Anda dengan hati-hati?"

"Ya. Saya terkejut ketika mendengar dia memegang surat itu ketika menemui ajalnya."

"Well, apa yang terjadi kemudian?"

"Saya pergi ke tempat pertemuan itu. Ketika saya sampai di jembatan, dia sudah menunggu. Baru saat itulah saya menyadari betapa luar biasanya kebenciannya kepada saya. Dia bagaikan orang gila, saya rasa dia benar-benar gila, hanya saja dia bisa mengelabui orang lain selama ini. Bagaimana mungkin dia bisa bersikap biasa pada saya sehari-hari, padahal di dalam hati dia begitu membenci saya? Saya tak akan mengatakan apa yang dikatakannya kepada saya. Dia menumpahkan segenap kemarahannya dengan kata-kata yang sangat mengerikan. Saya tak menjawab sepatah kata pun�saya tak mampu bersuara. Saya benar-benar merasakan kepahitan hatinya. Saya menutup telinga dengan kedua tangan, lalu berlari pulang. Ketika saya meninggalkannya, dia masih berdiri di ujung jembatan sambil menyumpah-nyumpah."

"Di mana dia kemudian ditemukan?"

"Beberapa meter dari tempat itu."

"Anda tak mendengar suara letusan pistol?"

"Tidak, saya tak mendengar apa-apa. Tapi, Mr. Holmes, saat itu saya begitu bingung dan ketakutan karena ledakan amarahnya yang mengerikan, sehingga saya terus lari ke kamar saya, tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi di luar."

"Anda mengatakan Anda langsung kembali ke kamar Anda. Apakah Anda meninggalkan kamar Anda lagi sebelum keesokan harinya?"

"Ya, ketika tanda bahaya berbunyi dan berita tentang kematiannya tersebar, saya ikut lari keluar rumah bersama penghuni lain."

"Apakah Anda melihat Mr. Gibson waktu itu?"

"Ya, dia baru saja kembali dari jembatan ketika saya melihatnya. Dia langsung memanggil dokter dan polisi."

"Apakah dia kelihatan sangat terkejut?"

"Mr. Gibson orang yang sangat kuat dan tegar, yang tak pernah menunjukkan emosinya. Tapi, karena saya kenal betul dirinya, saya bisa melihat betapa prihatinnya dia."

"Sekarang, kita sampai ke hal yang paling penting. Pistol yang ditemukan di kamar Anda itu, apakah Anda pernah melihatnya sebelumnya?"

"Tidak pernah, saya bersumpah!"

"Kapan pistol itu ditemukan?"

"Besok paginya, ketika polisi mengadakan penggeledahan."

"Di antara pakaian Anda?"

"Ya, di dasar lemari pakaian saya, di bawah gaun-gaun saya."

"Anda tak bisa memperkirakan sudah berapa lama pistol itu berada di situ?"

"Sehari sebelumnya�di pagi hari tepatnya�pistol itu belum ada."

"Bagaimana Anda tahu?"

"Karena waktu itu saya mengatur isi lemari pakaian saya."

"Kalau begitu ada orang yang masuk ke kamar Anda dan menaruh pistol itu di sana agar Andalah yang akan dituduh."

"Mestinya begitu."

"Kapan kemungkinan orang itu melakukannya?"

"Bisa pada saat makan, atau ketika saya mengajar anak-anak."

"Sama seperti ketika Anda menerima surat?"

"Ya, mulai saat itu sampai waktu makan siang."

"Terima kasih, Miss Dunbar. Apakah ada hal lain yang bisa menolong saya dalam penyelidikan ini?"

"Saya rasa tak ada."

"Kami temukan bekas pukulan di dinding batu jembatan�gompalan itu masih baru dan tepat di seberang mayat ditemukan. Apa pendapat Anda tentang hal itu?"

"Pastilah kebetulan saja."

"Aneh, Miss Dunbar, sangat aneh. Kenapa terlihatnya persis pada saat pembunuhan, dan kenapa di tempat itu?"

"Tapi, apa yang mungkin menyebabkan gompalan itu? Hanya pukulan yang keras sekali yang bisa mengakibatkannya."

Holmes tak menjawab. Wajah pucatnya yang penasaran menjadi serius dan menerawang ke kejauhan. Kalau dia bersikap begitu, biasanya dia sedang mengerahkan segenap kecerdikannya. Begitu kerasnya dia berpikir, sehingga tak satu pun dari kami berani bersuara. Maka kami bertiga�aku, pengacara, dan tersangka�cuma duduk sambil menatapnya dengan penuh ingin tahu. Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya.

"Ayo, Watson, ayo!" teriaknya bersemangat.

"Ada apa, Mr. Holmes?"

"Tak apa-apa, Nona! Nanti Anda akan mendapat kabar dari saya, Mr. Cummings. Dengan pertolongan dewa keadilan, saya akan mengungkapkan bagi Anda kasus yang akan mengguncang seluruh Inggris. Anda akan mendapat kabar besok pagi, Miss Dunbar, dan sementara itu yakinlah bahwa kabut mulai terangkat dan saya punya harapan besar cahaya kebenaran akan bersinar menggantikannya."

Jarak antara Winchester dan Thor tak begitu jauh, tapi bagiku perjalanan kami rasanya lama sekali. Rupanya Holmes pun merasakan hal yang sama. Dia begitu gelisah sampai tak bisa duduk tenang. Dia terus mondar-mandir di gerbong kereta api yang kami tumpangi, atau mengetuk-ngetukkan jemarinya ke bantalan kursi di sampingnya. Tapi tiba-tiba, ketika kami sudah mendekati tempat tujuan, dia pindah duduk di hadapanku�karena kami naik gerbong kelas satu�lalu menaruh kedua tangannya di lututku sambil menatap mataku dengan pandangan aneh.

"Watson," katanya, "seingatku kau selalu membawa senjata kalau menemaniku bertualang."

Beruntunglah dia mempunyai sahabat sepertiku, karena dia tak pernah mengacuhkan keselamatan dirinya sendiri kalau pikirannya sedang disibukkan suatu masalah. Berkali-kali pistolku membuktikan jasanya pada saat kritis. Aku mengingatkannya tentang hal itu.

"Ya, ya, aku agak pelupa dalam hal-hal seperti itu. Pokoknya kau siap dengan pistolmu?"

Kukeluarkan pistolku dari saku celanaku. Pistol kecil dan pendek, tapi sangat berguna. Dia membuka moncongnya, mengguncang-guncang pelurunya, dan mengamatinya.

"Berat, ya? Berat sekali," katanya.

"Ya, bagus buatannya."

Dia menimang-nimang pistol itu.

"Tahukah kau, Watson," katanya, "pistolmu ini akan berperan dalam misteri yang sedang kita selidiki."

"Sobatku Holmes, kau bergurau, ya?"

"Tidak, Watson, aku sangat serius. Ada percobaan yang akan kita lakukan. Kalau percobaan ini berhasil, semuanya akan jelas. Dan percobaannya tergantung pada perilaku senjata api kecil ini. Keluarkan sebuah peluru; yang lima kita masukkan lagi dan kita pasang pengamannya. Nah! Pistol ini jadi tambah berat, tapi itu malah lebih baik."

Aku sama sekali tak bisa membayangkan apa yang ada di benaknya, dan dia juga tak mau repot-repot menjelaskannya padaku. Dia duduk tepekur sampai kami turun di stasiun Hampshire. Kami ganti naik kereta kuda dan seperempat jam kemudian kami sudah berada di rumah teman kami, Sersan Coventry.

"Ada petunjuk, Mr. Holmes? Apa?"

"Semuanya tergantung pada perilaku pistol Dr. Watson," kata sahabatku. "Ini. Sekarang, Sersan, bisa minta benang sepanjang sepuluh meter?"

Di toko desa ternyata ada benang pintal yang cukup kuat.

"Saya rasa kita sudah memiliki semua yang kita butuhkan," kata Holmes. "Mari kita berangkat. Semoga ini menjadi perjalanan tahap akhir kita."

Matahari mulai tenggelam dan daerah Hampshire yang berbukit-bukit tampak sangat indah. Sepanjang perjalanan, Sersan berkali-kali menoleh ke arah sahabatku dengan pandangan kritis dan meremehkan, seolah dia meragukan kewarasan sahabatku. Ketika kami mendekati lokasi pembunuhan, aku bisa melihat betapa gelisahnya temanku, meski dia menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.

"Ya," katanya menjawab komentarku, "kau pernah melihat aku gagal, Watson. Naluriku memang kuat, tapi kadang-kadang keliru. Ketika ide ini pertama kali melintas di benakku di rumah tahanan di Winchester, aku yakin sekali. Namun karena otakku terlalu aktif, aku terus saja memikirkan alternatif lain. Yah, Watson, tak ada salahnya mencoba, kan?"

Sambil berjalan, dia mengikatkan salah satu ujung benang pada pegangan pistol. Kini kami telah tiba di tempat kejadian. Dengan hati-hati dan dengan pertolongan Sersan dia memberi tanda tepat pada lokasi mayat terbaring. Dia menyibak-nyibak semak dan pepohonan sampai menemukan batu yang cukup besar. Diikatnya batu itu dengan ujung benang yang lain, lalu digantungnya di dinding jembatan sehingga bisa terayun di atas air. Dia pindah ke tempat mayat, tak jauh dari mulut jembatan, masih sambil memegang pistol. Benangnya menegang di antara pistolku dan batu berat di ujung lainnya.

"Sekarang lihat!" teriaknya.

Sambil mengucapkan kata-kata itu dia menarik pistol ke kepalanya dan melepaskannya. Dalam sekejap pistol itu mencuat ke atas karena daya berat batu, lalu menghantam dinding jembatan dengan sangat keras, dan akhirnya tercebur ke kolam. Sebelum pistol itu menghilang, Holmes telah berjongkok di muka dinding jembatan, dan teriakan gembiranya menunjukkan bahwa harapannya telah menjadi kenyataan.

"Pernah lihat demonstrasi yang lebih hebat dan tepat?" teriaknya. "Lihat, Watson, pistolmu telah memecahkan masalah ini!" Dia menunjuk gompalan lain di bagian bawah dinding jembatan.

"Kita tinggal di penginapan malam ini," lanjutnya sambil berdiri di hadapan Sersan yang terheran-heran. "Tolong Anda pancingkan pistol sahabat saya itu, ya? Anda nanti pasti juga menemukan pistol, benang, dan alat pemberat yang telah dipakai korban untuk menyembunyikan tindak kejahatannya sendiri. Tolong kabari Mr. Gibson dan minta dia menemui saya besok pagi, kalau langkah-langkah untuk mengembalikan nama baik Miss Dunbar sudah dilakukannya."

Malam itu, sambil duduk-duduk mengisap pipa di penginapan, Holmes memberikan penjelasan. "Aku khawatir, Watson," katanya, "reputasiku takkan membaik walaupun kautambahkan kasus Jembatan Thor ini dalam tulisanmu. Otakku lamban sekali, kurang cekatan mengolah data. Gompalan di permukaan batu itu merupakan petunjuk yang cukup kuat untuk mendapatkan jalan keluar, dan aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak sejak awal menarik kesimpulan.

"Harus kuakui pikiran wanita yang putus asa ini begitu ruwet, sehingga tak mudah untuk mene-lusurinya. Kurasa dari semua petualangan kita, belum pernah kita menjumpai perilaku yang lebih aneh dibandingkan cinta buta yang terlalu menggebu-gebu seperti ini. Apakah Miss Dunbar menjadi saingannya dari segi fisik atau hanya dari segi mental, di matanya sama saja. Jelas dia menyalahkan gadis itu untuk semua tindakan dan kata-kata kasar suaminya. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan dengan sedemikian rupa sehingga Miss Dunbar yang menjadi tertuduh. Itu merupakan pembalasannya terhadap gadis itu, yang nasibnya akan jauh lebih buruk dari sekadar bunuh diri.

"Kita bisa mengikuti langkah-langkahnya dengan cukup jelas, yang semuanya menunjukkan kehebatan pikirannya. Surat-menyurat itu dibuat sedemikian rupa sehingga tampaknya Miss Dunbar-lah yang telah mengundangnya ke lokasi. Agar surat itu tak sampai lolos dari pengamatan polisi, dia sengaja menggenggamnya sampai ajalnya. Ini saja mestinya sudah menimbulkan kecurigaanku.

"Lalu dia mengambil sepasang pistol kembar milik suaminya. Yang satu dipakainya untuk bunuh diri, yang lainnya disembunyikannya di lemari pakaian Miss Dunbar, setelah sebutir peluru ditembakkan. Dia bisa melakukannya di hutan tanpa ada yang menaruh curiga. Kemudian dia pergi ke jembatan tempat dia telah merencanakan cara bunuh diri yang cerdik ini, dan mengatur agar pistolnya terlempar ke kolam setelah ditembakkan. Ketika Miss Dunbar muncul, dia menggunakan kesempatan terakhirnya untuk melampiaskan kebenciannya, lalu ketika Miss Dunbar sudah tak mungkin mendengar apa-apa, dia melaksanakan niatnya. Setiap jalinannya sekarang sudah berada pada tempat yang seharusnya dan rangkaiannya lengkap sudah. Surat-surat kabar mungkin akan menanyakan mengapa kolam itu tak diperiksa sejak awal, tapi bicara memang mudah kalau kasusnya sudah terpecahkan. Mencari-cari sesuatu dalam danau yang dipenuhi alang-alang bukan pekerjaan gampang, kecuali kita tahu persis apa yang kita cari dan di mana mencarinya. Well, Watson, kita telah menolong seorang gadis yang sangat menawan hati, dan seorang pria yang kaya raya. Kalau kelak mereka bersatu, yang rasanya bisa saja terjadi, dunia bisnis akan melihat Mr. Neil Gibson telah banyak menarik hikmah dan tragedi ini."

Read More

© Juu's Little Blog, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena